SuaraMalang.id - MUI Jatim meminta agar para pengikut padepokan Tunggal Jati Nusantara bertobat, usai petaka ritual di Pantai Payangan, Jember yang menewaskan 11 orang.
Ketua Komisi MUI Jatim KH. Ma’ruf Khozin menjelaskan, perlu adanya pendampingan kepada para anggota padepokan tersebut supaya kembali ke jalan yang benar dan tobat.
“Kami berharap kepada para ulama untuk memberikan bimbingan dan petunjuk bagi mereka yang ingin bertobat,” katanya, mengutip dari Beritajatim.com jejaring Suara.com, Jumat (18/2/2022).
Ia juga meminta kepada pemerintah daerah untuk mengambil langkah tegas dengan melarang segala aktivitas kelompok Tunggal Jati Nusantara tersebut.
Baca Juga:Hanya 70 dari 458 Ormas di Jember yang Terdaftar di Kemendagri, Termasuk Komunitas sampai Padepokan
“Komisi Fatwa MUI Jawa Timur menetapkan bahwa ajaran dan kegiatan kelompok tersebut menyalahi syariat Islam dan termasuk kelompok sesat,” kata Khozin.
Fatwa ini didasarkan hasil kajian dain investigasi yang dilakukan tim MUI Jember sebagai kepanjangan tangan MUI di daerah.
Tim yang dipimpin Ketua MUI Jember KH Abdul Haris itu mewawancarai dua orang murid Nur Hasan, pemimpin Tunggal Jati Nusantara, dua guru Nur Hasan, dan seorang takmir masjid.
“Ini tidak sekadar praktik perdukunan dan penyembuhan, tapi sudah menyerempet masalah akidah umat. Oleh karena itu harus diseriusi. Temuan kami, luar biasa, fanatisme anak buah yang berkumpul sudah agak jauh dan fanatik sekali terhadap yang bersangkutan (Nur Hasan),” kata Haris.
Menurut Haris, ajaran Tunggal Jati Nusantara menafsirkan Alquran tanpa kaidah yang benar.
Baca Juga:Terungkap! Tunggal Jati Nusantara Ternyata Sudah 7 Kali Ritual di Pantai Payangan Jember
“Kalau menafsirkan Alquran harus menggunakan kaidah ilmu tafsir,” katanya.
Haris sempat bertemu dengan Nur Hasan di Markas Polres Jember, Kamis (17/2/2022). Hasil pertemuan itu semakin menegaskan sikap MUI Jember bahwa pengikuti Tunggal Jati Nusantara harus dibina.
“Mengaku Islam, tapi menyimpang,” katanya.
“Dia cerita kalau butuh berkontemplasi selama beberapa bulan untuk memahami kalimat bismillahirrohmanirrohim (dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang), tapi itu berdasarkan pikiran dia. Itu justru menjadikan kami semakin berkesimpulan bahwa orang-orang semacam ini tidak boleh ngomong Islam,” kata Haris.
Nur Hasan tidak memiliki dasar keilmuan untuk bicara soal hukum dan ajaran Islam. “Kalau penafsirannya diucapkan kepada orang yang sama-sama tidak mengerti dan jadi anggotanya, akan ada banyak kesalahan beruntun,” katanya.
Fanatisme terhadap Nur Hasan membuat nalar para anggotanya tak berjalan. “Sesuatu yang tidak masuk akal diterima sebagai sebuah kebenaran. Jadi ketika saya wawancara dengan anak buahnya, dia bicara ada tingkatan-tingkatan ajaran. Tapi seperti apa, tidak boleh dibicarakan dengan orang lain karena tidak mendapatkan izin dari Mas Nur Hasan. Kalau dibicarakan dengan orang lain akan mati mendadak. Itu dipercaya,” kata Haris.
MUI Jember menganggap ini persoalan serius. “Harus ditelusuri genealoginya, sanad dan akar, karena ini tampaknya punya guru. Ini harus kami telusuri untuk melindungi. Kami sudah mewawancarai gurunya yang nanti akan kami panggil lagi di kantor MUI. Namanya Pak Nur Shodiqin. Ini juga punya pengalaman aneh-aneh, tapi tidak sampai jatuh korban. Banyak ilmu yang dipunyai Nur Hasan dari Pak Shodiq. Target kami ini yang dilarang,” kata Haris. Nur Shodiqin juga membuka praktik perdukunan.