Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Taufiq
Kamis, 10 Maret 2022 | 16:29 WIB
Kampung Warna Warni Jodipan Kota Malang [SuaraMalang/Bob Bimantara]

SuaraMalang.id - Kampung Warna Warni Jodipan (KWJ) menjadi salah satu ikon Kota Malang. Kampung yang berciri khas dengan warna warni cat rumahnya itu menjadi pionir kampung tematik di Kota Malang.

Kampung tersebut berdiri pada 2016 lalu. Sejak berdiri kampung yang dulunya kumuh itu disulap menjadi tempat berkumpulnya wisatawan mancanegara dan lokal saban hari.

Namun dua tahun setelah Covid-19 melanda Kota Malang, pemandangan ratusan wisatawan yang biasa berswa foto tidak ada. Di sudut-sudut kampung itu kini tidak ramai lagi meskipun sudah dibolehkan buka. Hanya ada beberapa anak dan warga asli kampung saja yang beraktivitas.

Ketua RW 02 Kelurahan Jodipan sekalugus Ketua Pengurus KWJ, Soni Parin menjelaskan, pemandangan sepinya pengunjung ini sudah terjadi sejak dibukanya kembali kampung tematik itu akhir 2021 lalu.

Baca Juga: Pemkot Malang Kembali Siap Gelar PTM mulai 14 Maret 2022

"Memang benar mas sudah buka. Wisatawan bisa akses lagi ke sini. Tapi sejak dibuka itu gak bisa lagi ramai seperti dulu. Sekarang aja ya di jalan itu anak-anak," kata dia ditemui Suara.com, Kamis (10/3/2022).

Sony pun mengaku sulit mendongkrak pengunjung lagi setelah hampir satu tahun vakum karena pandemi Covid-19. Dia menyebutkan, pengunjung yang sulit datang ke KWJ itu kemungkinan masih merosot pendapatannya akibat pandemi Covid-19.

"Susahnya ya masyarakat saat ini rata-rata sudah merosot semua aktivitas ekonomi belum seperti dulu meskipun saat ini sudah ada kelonggaran," kata dia.

Sebagai catatan saja, Soni mengaku dulu sebelum pandemi dan tutup, ada sekitar 200 hingga 300 rata-rata per harinya. Saat dibuka di tengah pandemi Covid-19 akhir 2021 lalu, hanya ada 20 sampai 30 rata-rata pengunjung yang datang ke KWJ.

Soni pun mengaku, sepinya pengunjung ini juga dipengaruhi oleh banyaknya kampung tematik yang mulai hadir di Kota Malang.

Baca Juga: Longsor Susulan Terjadi di Tebing Lawang Malang, BPBD: Lahan Pertanian Tertimbun

"Kan sekarang banyak kampung tematik baru ada 24 kampung baru kalau gak salah," ujarnya.

Soni pun sebenarnya tidak berdiam diri. Dengan warga sekitar dia tetap mempertahankan ciri khas KWJ. Cat rumah-rumah dan juga genteng rumah di KWJ tetap dipertahankan dan dirawat.

Bahkan ornamen-ornamen semakin beragam. Di jalan setapak banyak dijumpai hiasan topeng bergelantungan. Dan juga lukisan-lukisan di dinding yang menambah keindahan saat melewati kampung tersebut.

"Itu semua dari warga sendiri kas dari keuntungan kemarin. Kami putar dan sebagian dari sponsor juga ada," ujarnya.

Namun harapan Soni dan warga sekitar untuk mendongkrak pengunjung ke KWJ belum terealisasi.

Perekonomian Warga KWJ Mati

Sebelum pandemi Covid-19, hampir setiap rumah warga di KWJ menjadi warung makanan, minuman ataupun oleh-oleh.

Perputaran uang pun terjadi waktu itu. Penjual yang sebagian besar ibu-ibu itu bahagia. Mereka punya tambahan uang bagi kebutuhan keluarganya.

Namun, saat ini warung-warung tersebut sebagian besar tutup. Hanya ada etalase yang menampakkan oleh-oleh, namun pintunya tertutup.

"Keluhan mereka ya itu mas pengunjung sepi itu jualan kulak, tapi yang beli gak ada. Akhirnya tutup," kata dia.

Namun, saat Suara.com menelusuri KWJ, terdapat salah satu warung makanvn dan minuman yang masih buka dan bertahan di tengah sepinya pengunjung.

Pemilik warung Siti Aminah membenarkan memang sejak pandemi Covid-19 tutup hingga buka lagi, keuntungan dari tokonya tidak bisa diharapkan untuk menambah biaya sehari-hari keluarganya.

"Ya untuk muter saja mas ini keuntungannya saat ini. Jual terus kulakan. Tapi gak bisa ada untungnya," tutur dia.

Siti mengaku tetap membuka warungnya yang dibangun sejak hadirnya KWJ, karena banyak titipan barang dagangan dari orang lain.

"Lah ini es krim nitip saya. Terus banyak lagi kayak jajan-jajan itu ya titip saya. Jadi saya tetap buka," ujarnya.

Dia pun kini hanya berharap pembelian dari warga sekitar saja yang membeli rokok, ataupun sekadar membeli es krim ataupun kebutuhan sembako.

"Perbandingannya ya mas. Waktu dulu itu saya bisa Rp 150 ribu sampai Rp 300 ribu bisa. Sekarang Rp 50 ribu itu bagus," ujarnya.

Sementara itu, oleh-oleh seperti kaos dan gantungan kunci hingga tongkat selfie kini dijualnya dengan harga murah. Dia rela tidak mendapat keuntungan.

"Saya modalnya kaos itu khas KWJ saya modalnya per kaos Rp 55 ribu sekarang kalau ada yang beli Rp 55 ribu saya lepas," ujarnya.

Sayangnya oleh-oleh tersebut tidak berkurang. Masih berjejer rapi. Bahkan untuk beberapa peralatan handphone yang dijualnya kini berdebu.

"Tapi kalau ada yang beli saya bersihkan," katanya menegaskan.

Load More