"Itu beberapa kali diminta Pemerintah. Tapi tidak kami berikan karena takut diperjualbelikan," tambahnya.
Ketakutan itu wajar saja. Sebab kata Richard beberapa kali kolektor menginginkan dua manuskrip itu untuk dibeli. Kolektor itu menawarkan untuk mengganti dua manuskrip itu dengan rumah dan mobil. Tapi lagi Richard menolak tawaean itu.
"Ya mungkin dipahaminya (dipahami kolektor) secara mistis. Mungkin kalau punya al-kitab itu bisa saja selamat, bisa aja seperti itu," tuturnya.
Alasan Richard tidak ingin melepas kedua manuskrip itu karena merupakan karakteristik dari gereja.
Baca Juga:Apa itu Thogut? Julukan untuk Polisi dari Mahasiswa Terduga Teroris di Malang
Untuk itu, dua manuskrip itu dijaganya dengan baik-baik.
"Itu dijaga. Tidak hanya dikasih CCTV, tapi kalau menyentuh benda itu akan bunyi tiiit tiit tiit," tuturnya.
Oleh karena itu, saat meninjau ke lokasi, dua manuskrip itu tidak bisa ditunjukan langsung. Wartawan online ini hanya bisa memfoto dari balik almari berkaca itu.
"Dua kitab itu berat. Satu kitab seberat lima kilogram dua kitab jadi 10 kikogram," ujarnya.
Pemerhati Budaya Malang, Agung H. Buana menambahkan, dua manuskrip itu tidak dipakai karena memang berbahasa Belanda Kuno.
Dia menjelaskan, saat itu kitab itu dibawa dari Belanda ke Kota Malang, karena gereja itu dikhususkan untuk jamaah yang merupakan warga Belanda tinggal di Kota Malang.