Izin Relokasi Kapel di Kabupaten Malang Terganjal Birokrasi, Gusdurian Sesalkan Sikap Kades Landungsari

Koordinator Gusdurian Malang, Gus Ilmi Najib menjelaskan, pihaknya telah mendampingi pihak panitia relokasi kapel sejak 2021 awal lalu. Namun, Pemdes Landungsari menutup diri.

Abdul Aziz Mahrizal Ramadan
Jum'at, 04 Februari 2022 | 18:57 WIB
Izin Relokasi Kapel di Kabupaten Malang Terganjal Birokrasi, Gusdurian Sesalkan Sikap Kades Landungsari
Kondisi Kapel Santo Bonifasius Desa Landungsari Kecamatan Dau Kabupaten Malang yang tutup sejak 2018. [Suara.com/Bob Bimantara Leander]

SuaraMalang.id - Hak beribadah umat Katolik di Desa Landungsari, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang terganjal birokrasi. Bahkan izin relokasi Kapel Santo Bonifasius sejak 2018 silam tak kunjung direstui kepala desa setempat.

Koordinator Gusdurian Malang, Gus Ilmi Najib menjelaskan, pihaknya telah mendampingi pihak panitia relokasi kapel sejak 2021 awal lalu. Namun, pihak Pemerintah Desa Landungsari menutup pintu dialog.

"Namun pemerintah desa ini sangat menutup diri, terutama Kadesnya," kata Gus Najib.

Gus Najib menambahkan, mediasi atau audiensi dengan Kades Landungsari adalah benang merah dari tarik ulur perizinan Kapel Santo Bonifasius ini.

Baca Juga:Penolakan Pembangunan Gereja saat Natal, DPRD Surabaya: Menyedihkan

Sebab, selama mengawal kasus tersebut, Gus Najib mengatakan, proses syarat perizinan warga sekitar hingga RT atau RW telah rampung. Semua menyetujui agar kapel tersebut direlokasi.

"Cuma lurah atau kadesnya saja tidak mau tanda tangan. Kami pun sangat sulit untuk berkomunikasi karena tertutup," kata dia.

Alhasil, selama setahun terakhir Gusdurian bersama sejumlah akademisi Universitas Brawijaya melakukan penggalian data tentang alasan mengapa kapel tersebut seret pengurusan izinnya.

Hasilnya, ditemukan beberapa tokoh atau kelompok di Desa Landungsari yang tidak menghendaki adanya kapel itu berdiri. Gus Najib tidak menyebut siapa kelompok tersebut.

"Kami tanya kenapa kok gak bisa berdiri. Memang secara izin kan rumah. Terus kami bilang kalau begitu, rumah peribadatan yang kecil-kecil di sini juga banyak yang tidak berizin. Kami punya datanya. Kenapa ini kok gak bisa. Harusnya karena kepentingan sipil ini bisa tidak seperti ini," kata dia.

Baca Juga:Geger Pembangunan Gereja Citraland Ditolak Warga, Tretan Muslim: Bangun Warnet Aja..

Seperti diketahui, memang Kapel Santo Bonifasius tersebut hanya memiliki izin sebagai tempat tinggal atau rumah bukan sebagai rumah ibadah saat dibangun tahun 1992.

Pihaknya berharap agar pihak panitia relokasi kapel untuk langsung audiensi dengan Bupati Malang, HM Sanusi terkait tarik ulur izin relokasi.

"Makanya Gusdurian mendorong agar bertemu dengan bupati langsung agar dimediasi," ujar dia.

Gus Najib menambahkan, seharusnya masalah ditutupnya kapel sejal 2018 ini tidak terjadi.

"Karena ini sudah bertabrakan dengan konstitusi. Kami menegaskan proses peribadatan warga sipil harus tetap dibuka," tutur dia.

Dia menambahkan, dengan penutupan kapel itu umat Katolik terutama yang sepuh tidak bisa beribadah sejak tahun 2018 lalu.

"Karena mereka kalau gak di sini ya harus ke Ijen Gereja Katerdal (Kota Malang) dan itu jauh," tutur dia.

Sementara itu, Ketua Panitia Pembangunan Relokasi Kapel Santo Bonifasius, Sudarmadji mengaku telah melakukan berbagai upaya.  Bertemu dengan Bupati Malang, HM Sanusi dicobanya pada akhir 2021 lalu. Bahkan sudah ke rumah dinas Sanusi di Kota Malang.

"Namun gak ada beliaunya kami ditemui anaknya mas Zaky ya cuma diajak omong tapi sampai sekarang gak ada kabar. Tapi kabar terakhir katanya mau disurati ke Kadesnya," tutur dia.

Tak hanya ke Sanusi, Sudarmadji sudah memohon ke Anggota DPR RI, Andreas Eddy Susetyo, Wakil Bupati Malang, Didik Gatot Subroto, hingga Anggota DPRD Kabupaten Malang, Budi Kriswiyanto. Namun sekali lagi, belum juga ada solusi. 

"Sampai saat ini cuma dijanjiin 'sudah sudah diurus' tapi sampai saat ini masih saja tetap," tutup dia," tutupnya.

Sementara itu, Kepala Desa Landungsari Asyarul Khakim hingga kini belum bisa dikonfirmasi.

Sebelumnya kasus ini bermula sejak tahun 2018 lalu. Dengan banyaknya umat dari tambahan mahasiswa perantauan, parkiran di sekitar kapel menutup sebagian jalan yang cukup sempit.

Akhirnya beberapa kelompok protes karena setiap ada giat ibadah, membuat jalanan tertutup. Pertemuan pun dilakulan oleh pihak pemerintah desa dan juga pihak kapel dan warga sekitar. Disepakati bahwa kapel seharusnya dinonaktifkan karena secara perizinan bukan rumah ibadah. Kapel Santo Bonifasius pun ditutup sejak 2018 hingga sekarang.

Pihak kapel pun sudah mencoba untuk mengurus izin agar kapel tersebut izinnya sebagai rumah ibadah. Syarat sudah terpenuhi dengan mengumpulkan dukungan warga sekitar dan umat Katolik. Ada 60 lebih warga sekitar kapel dan 90 umat Katolik setuju dengan memberikan KTP bahwa bangunan tersebut memiliki ijin sebagai rumah ibadah.

Namun ternyata beberapa warga menyarankan agar relokasi saja ke tempat yang lebih layak. Akhirnya pihak kapel menuruti. Tanah kurang lebih seluas 1000 meter persegi sudah disiapkan untuk dibangun kapel dan juga tempat parkir yang layak.

Pengumpulan dukungan dari warga sekitar pun dilakukan kembali dan sudah terpenuhi pada pertengahan tahun 2021 lalu.

Namun, kebuntuan terjadi pada tahap tanda tangan perizinan Kepala Desa Landungsari. Hingga kini nasib umat Katolik di Landungsari masih abu-abu.

Kontributor : Bob Bimantara Leander

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini