SuaraMalang.id - Perempuan Bersatu Melawan Penindasan atau 'Petasan' di Malang mendesak pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUPKS).
Seperti diketahui kini Mayoritas fraksi di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyetujui RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR.
Berdasarkan hasil Rapat Pleno Baleg, hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR.
Koordinator Lapangan Massa Aksi, Reni Eka Mardiana, mengatakan kalau RUU TPKS itu tidak ada bedanya dengan KUHP yang sudah ada sebelumnya.
Baca Juga:Ke UIN Malang, Gus Muhaimin Ingatkan Peran Penting Parlemen Kampus
Dia menyebut, RUU TPKS tidak bersifat inklusif. Artinya, di undang-undang tersebut nantinya korban masih tidak dilindungi haknya. Korban dalam menjalani proses hukum butuh pendampingan psikologis. Sementara di RUU TPKS sendiri tidak mengatur hal tersebut.
"Padahal korban juga butuh pemulihan psikologis ke psikiater atau apa. Kalau di RUU TPKS gak ada negara seperti lari dari tanggung jawab untuk melindungi hak korban yang masih trauma. Gak spesifik di RUU TPKS perlindungannya seperti apa," ujar dia di sela-sela aksi di depan Gedung DPRD Kota Malang, Jumat (10/12/2021).
Reni uga menambahkan, hak korban untuk didampingi oleh psikolog atau psikiater itu sangat penting.
Pasalnya, korban kekerasan seksual kebanyakan masih trauma dan tidak bisa bicara saat kasusnya nanti ditangani oleh aparat penegak hukum.
"Dan ada istilah nanti korban bisa jadi pelaku. Di sinilah pentingnya penanganan khusus untuk korban dan RUU PKS itu ada pasal yang melindungi hak-hak korban. Maka dari itu kami di sini mendesak RUU PKS ditindak lanjuti," ujar dia.
Baca Juga:Ini Penjelasan Dokter Usai Periksa Joko, Warga Malang yang Buta Setelah Vaksin Covid
Reni menyebut bahwa dampak dari tidak adanya undang-undang yang mengatur terkait perlindungan korban kekerasan seksual juga ada di Malang.
Sementara ini, wanita yang tergabung dalam Woman March Malang (WMM) itu menyebut ada lima korban kekerasan seksual yang melapor kepada WMM.
"Dari revenge porn, hampir diperkosa dicium-cium gitu, terus pemaksaan KB, dan cat calling itu laporan yang kami terima," kata dia.
Dia menyebut para korban yang merupakan mahasiswi Universitas Brawijaya itu sebenarnya telah melapor kepada pihak kampus dan fakultas melalui Unit Layanan Terpadu Kekerasan Seksual dan Perundungan (ULTKSP).
"Namun tidak mendapat hak yang diinginkan korban. Di sini kampus tidak hadir. Bahkan korban sampai melapor ke WCC (Woman Cricis Center) juga tidak mendapat hal yang diinginkan. Di sinilah bukti bahwa korban masih tidak diperhatikan. Apalagi mau laporan ke penegak hukum ya malah tidak tertangani. Jadi tahapannya masih di fakultas saja dan tidak sesuai ekspektasi," kata dia.
Sementara itu, lima korban itu kini masih dalam tahap pendampingan. Kata dia, korban masih menyanggah bahwa dirinya adalah korban kekerasan seksual.
"Mereka sekarang ini masih denial begitu. Kami terus dampingi dan beri ruang aman. Sementara laporan dari kampus itu hanya memberikan sanksi ke pelaku namun sifatnya hanya skorsing organisatoris tidak memuaskan bagi korban," tutur dia.
Dia pun berharap segera anggota dewan pusat bisa memperhatikan nasib lima korban dan korban-korban lainnya yang belum berbicara.
"Caranya segera sahkan RUU PKS jangan kebiri pasal-pasal yang ada di sana seperti di RUU TPKS," katanya menegaskan.
Kontributor : Bob Bimantara Leander