Scroll untuk membaca artikel
Abdul Aziz Mahrizal Ramadan
Minggu, 24 Januari 2021 | 12:41 WIB
Sekda Jember Mirfano. [foto: Beritajatim.com]

SuaraMalang.id - Tensi ketegangan di tubuh Pemkab Jember dipicu beragam kontroversi. Sekretaris Daerah (Sekda) Jember, Mirfano mengklaim akar masalah salah satunya bermula dari aplikasi percakapan instan.

Sekda Mirfano menjelaskan, sumber kegaduhan di internal Pemkab Jember salah satunya saat ada instruksi penyusunan rencana kerja belanja (RKB) yang diterima 16 OPD (organisasi perangkat daerah).

“Sumber kegaduhan pertama adalah adanya perintah yang disampaikan melalui WhatsApp kepada 16 organisasi perangkat daerah untuk menyusun rencana kerja belanja (RKB) pos anggaran belanja tidak tetap (BTT),” katanya, seperti dikutip dari Beritajatim.com media jejaring Suara.com, Minggu (24/1/2021).

Ia melanjutkan, perintah tak resmi dan bukan tertulis itu justru membingungkan para kepala OPD.

Baca Juga: Cabup dan Cawabup Jember Terpilih Hendy- Gus Firjaun Fokus Program Covid-19

“Mereka melaporkannya kepada saya,” imbuhnya.

Dasar pecairan anggaran BTT, lanjut dia, adalah Peraturan Bupati Nomor 1 Tahun 2021 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2021. Namun, aturan tersebut diketahui tidak sah, lantaran tanpa ada restu Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.

Lah kita tahu perbup tersebut diundangkan tanpa pengesahan gubernur. Bagaimana kita bisa mencairkan anggaran yang dasarnya tidak punya legal standing? Perbup APBD ini sudah kami laporkan kepada Ibu Gubernur Jatim,” kata Mirfano.

Ia lantas meminta kepada seluruh ASN agar mengabaikan perintah menyusun RKB yang bersumber dari WhatsApp tersebut.

“Jika ada perintah tertulis pun dimohon agar kepala OPD berkonsultasi dengan kami,” katanya.

Baca Juga: Giliran Jember Diterjang Banjir, Ribuan Orang Jadi Korban

Sumber kegaduhan kedua, masih kata Mirfano, adalah kebijakan pengundangan KSOTK (Kedudukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja) 2021 yang menjadi dasar diterbitkannya surat keputusan pelaksana tugas untuk seluruh jabatan. Pengundangan ini memunculkan persoalan.

“Seluruh jabatan demisioner, sehingga harus segera ditetapkan pejabat untuk mengisi formasi jabatan pada KSOTK baru tersebut. Jadi seluruh jabatan akan demisioner,” jelasnya.

Penetapan pejabat pelaksana tugas (Plt) bermakna telah terjadi perubahan status hukum terhadap pejabat definitif pada KSOTK sebelumnya.

“Maka telah terjadi penggantian jabatan yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada,” katanya.

Mirfano mengingatkan bahwa penetapan pejabat pelaksana tugas hanya bisa dilakukan untuk jabatan kosong oleh pejabat yang eselonnya setara atau setingkat lebih tinggi. Sementara, pengundangan KSOTK 2021 mengakibatkan seluruh pejabat akan berstatus staf.

“Pembebastugasan jabatan menjadi staf harus melalui pemeriksaan oleh atasan langsung sesuai Peraturan Pemerintah nomor 53 Tahun 2010. Manakala tidak dilalui, maka yang bersangkutan harus dikukuhkan kembali sesuai jabatan sebelumnya,” kata Mirfano.

Akibat demisioner, lanjut dia, maka seluruh ASN berposisi sebagai staf.

“Maka tidak ada yang memenuhi syarat untuk menduduki posisi jabatan eselon ll, lll, dan lV walaupun dengan status pelaksana tugas atau pelaksana harian. Hal ini bermakna telah terjadi stagnasi pemerintahan akibat dari krisis legalitas jabatan,” urainya.

Load More