Candi Sumberawan Singosari Peninggalan Majapahit, Jadi Tempat Bertapa dan Berdoa Sejumlah Agama

Komplek Candi Sumberawan di Dusun Sumberawan Desa Toyomarto Kecamatan Singosari Kabupaten Malang menjadi tempat ibadah sejumlah agama.

Muhammad Taufiq
Jum'at, 06 Mei 2022 | 16:23 WIB
Candi Sumberawan Singosari Peninggalan Majapahit, Jadi Tempat Bertapa dan Berdoa Sejumlah Agama
Mata air di Candi Sumberawan Singosari Malang [SuaraMalang/Bob Bimantara]

SuaraMalang.id - Komplek Candi Sumberawan di Dusun Sumberawan Desa Toyomarto Kecamatan Singosari Kabupaten Malang menjadi tempat ibadah sejumlah agama.

Dari arah Kota Malang, candi tersebut terletak lima kilometer dari pintu masuk Kabupaten Malang. Jalan untuk menuju ke candi tersebut musti melalui jalan gang.

Penanda komplek jalan masuknya adala bentang pepohonan yang berdiri di sepanjang jalurnya. Masuk komplek candi, di sana terdapat dua mata air sungai dan sebuah candi di tengahnya serta ada serpihan bebatuan candi.

Juru Pelihara Candi Sumberawan Dika Maulana, menjelaskan jika pada hari Waisak, umat Budha melakukan upacara keagamaan di sekitar taman candi.

Baca Juga:Gelap Mata Butuh Uang, Pria Malang Peras Warga Surabaya Pakai HP Curian, Mengaku Khilaf

"Biasanya bertapa di sana. Umat Budha biasanya ada yang dari Kota Malang, Ngadas itu yang Budha Kejawen juga ada. Kalau Waisak digunakan untuk upacara bertapa dan berdoa begitu," tuturnya ditemui di lokasi, Jumat (6/5/2022).

Sementara untuk umat agama Hindu biasanya melakukan ibadah dengan memanfaatkan dua sumber mata air di sana. Dua sumber mata air itu bernama Sendang Kederajatan dan juga Amerta.

Untuk Sendang Kederajatan biasanya digunakan untuk mandi dan dipercaya mampu memangangkat derajat manusia. Sementara sumber mata air Amerta atau air keabadian dipercaya mampu memberi kesehatan bagi mereka yang cuci muka dan berkumur di sumber tersebut.

"Biasanya juga ada pejabat yang datang ke sini ke Sendang Kederajatan tadi ibu Kapolda ke sini jam 11.00-an tadi," tuturnya.

Sumber mata air tersebut kata Dika, berasal dari bawah bangunan Candi Sumberawan dan dialirkan ke dua mata air itu. Konon katanya air sumber tersebut keluar karena kuatnya para petapa yang bertapa di dalam candi.

Baca Juga:Ambrol Beberapa Bulan, Jembatan Alternatif Kabupaten Malang-Kota Batu Belum Bisa Dilewati Pemudik

"Namanya Sumberawan itu berasal dari Sumber ini dan Rawan itu artinya rawa-rawa," kata dia.

Sementara itu, umat Katolik, kata Dika, juga memanfaatkan sumber mata air Amerta untuk pembatisan umatnya.

"Di sana kadang memang ada umat Katolik melakukan pembaptisan. Tapi hanya di mata air itu," tuturnya.

Sementara umat Islam kadang juga melakukan upacara spritiual saat malam 1 Suro. Dijelaskannya biasanya umat Islam melakukan ibadah tersebut di taman yang mengelilingi candi.

"Dan biasanya yang banyak itu (umat Islam datang) juga malam Jumat legi kadang berdoa di sini," ujarnya

Untuk ibadah sendiri di kompleks candi Sumberawan musti melakukan pemberitahuan ke juru pelihara.

"Kan biasanya malam hari ibadahnya atau doa itu. Jadi kalau sampai malam sehari sebelumnya harus pemberitahuan terlebih dahulu," tuturnya.

Kompleks Candi Sumberawan tersebut pun dirasa cocok untuk berdoa. Sebab, udara di sekitar candi cukup sejuk. Candi ini berada di kaki Gunung Arjuno dengan ketinggian sekitar 650 mdpl.

Di sekitar kompleks pun terdapat banyak pepohonan pinus dan aliran air sungai dari sumber mata air.

Sejarah Candi Sumberawan

Candi Sumberawan ini merupakan satu-satunya candi bercorak Budha di Jawa Timur.

Candi tersebut dibangun pada abad ke-14 pada massa kerajaan tersebut dipimpin Hayam Wuruk.

Hayam Wuruk membangun Candi Sumberawan digunakannya untuk tempat peristirahatan sekaligus tempat berdoa kepada par dewa.

"Di sini Candi Sumberawan itu dibangun untuk tempat singgah Hayam Wuruk. Dan juga untuk beribadah ke para dewa," kata dia.

Sebelum menjadi candi di massa Kerajaan Majapahit, kompleks candi Sumberawan digunakan sebagai tempat berkumpulnya putri dan permaisuri raja.

Dua sumber mata air itu pun sudah ada sebelum candi itu dibangun. Biasanya selain digunakan mandi para putri dan permaisuri, raja serta perjabat di era Kerajaan Singosari juga mandi di sumber mata air itu.

"Jadi ini dulu tempat widodari sebelumnya. Artinya buat mandi atau berkumpulnya para bidadari ya putri-putri atau permaisuri kerajaan," tuturnya.

Setelah massa-massa itu, candi tersebut pun tidak diketahui bahwa bangunan tersebut adalah peninggalan kerajaan Majapahit, hingga tahun 1937.

Kata Dika, pada era penjajahan Belanda itu dilakukan pemugaran di sekitar candi. Waktu itu bangunan candi sudah diselimuti tanaman liar dan berdebu.

"Hingga oleh pemerintahan Belanda itu dipugar dibersihkan dan belum terbentuk seperti sekarang. Ada beberapa yang tercecer serpihan batu candinya," ujarnya.

Candi yang terlihat saat ini pun bukanlah bentuk asli seperti abad ke-14 tahun lalu. Pemugaran dilakukan di beberapa bagian candi seperti kaki candi.

"Dan tidak ada cakranya. Sebenarnya di atas itu ada cakranya. Cakranya sudah gak ada," katanya menegaskan.

Kontributor : Bob Bimantara Leander

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini