Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Taufiq
Minggu, 28 November 2021 | 11:53 WIB
Petani Tengger Lestarikan Bunga Edelweiss [SuaraMalang/Bob Bimantara]

SuaraMalang.id - Warga Suku Tengger yang berada di sekitar kawasan Gunung Bromo dan Semeru sangat erat hubungannya dengan Bunga Edelweiss.

Betapa tidak, di setiap upacara adat, warga Suku Tengger selalu membutuhkan bunga yang biasa disebut bunga keabadian itu.

Sebut saja upacara Yadnya Kasada, Yadnya Karo hingga Leliwetan. Semua upacara tersebut membutuhkan bunga Edelweis untuk sesajen.

Ketua Kelompok Tani Hulun Hyang, Teguh Wibowo pun merasa risau. Sebab, warga di sekitar Gunung Bromo semakin banyak. Terutama yang berada di desanya, Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Pasuruan.

Baca Juga: Tempat Wisata di Probolinggo Ditutup saat Libur Natal dan Tahun Baru 2022, Termasuk Bromo

Petani Tengger Lestarikan Bunga Edelweiss [SuaraMalang/Bob Bimantara]

"Jadi sesajen itu harus bunga Edelweiss dan tidak bisa digantikan bunga lainnya. Sementara warga kan semakin banyak jadi akan semakin banyak pula keperluannya bunga ini dipetik. Otomatis akan semakin berkurang keberadaan bunga abadi itu," kata dia ke wartawan, Sabtu (27/11/2021).

Untuk itu, pada tahun 2017, dia dan enam orang lainnya tercetus ide untuk membudidayakan bunga Edelweis tersebut.

"Selain karena untuk membudidayakan untuk kepentingan adat. Kami juga ingin melestarikan karena bunga ini merupakan bunga konservasi dan harus dilindungi," imbuhnya.

Untungnya waktu itu, Teguh menceritakan ada bantuan dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) Malang. Bantuannya berupa melatih Sumber Daya Manusia di desa untuk mengetahui cara budidaya bunga itu.

"Kami diajari untuk dari pembibitan, merawat, tanaman, hingga memanen Edelweiss. Jadi SDM kan kami rendah dibantu selama setahun itu pelatihan," paparnya.

Baca Juga: Catat! Buat yang Mau Tahun Baruan di Gunung Bromo, Nanti Bakal Diberlakukan PPKM Level 3

Petani Tengger Lestarikan Bunga Edelweiss [SuaraMalang/Bob Bimantara]

Setahun berselang, 7 orang itu diberi kepercayaan untuk membentuk sebuah Taman Edelweiss. Taman pun dibentuk pada tahun 2018 dengan bantuan TNBTS dan swadaya masyarakat sekitar.

"Dan misi kita awalnya untuk melestarikan tanaman Edelweiss tapi lambat laun kok ada yang menarik ya jadi dijadikan tempat wisata," kata dia.

Pada tahun 2019, Taman Edelweiss tersebut pun dijadikan tempat wisata. Pengelolanya pun berkembang. Dari tujuh orang menjadi 30 orang.

"Dan kami juga diberi kepercayaan oleh BI (Bank Indonesia) Malang untuk menjadi tempat CSR mereka. Ada bantuan sarana dan pra saran yang hasilnya kafe ini," tutur dia.

Memang dari pantauan wartawan, terdapat sebuah kafe di tengah tanaman bunga Edelweiss tersebut.

Kekinian, Teguh pun menuai hasilnya. Di taman seluas 1.196 meter persegi itu, Teguh mengaku bisa menyediakan kebutuhan upacara adat warga suku Tengger.

"Jadi warga tidak perlu lagi ke tempat konservasi lagi warga memetik di gunung. Cukup di sini dan bahkan warga juga mulai sadar untuk menanam di sekitar rumah mereka," kata dia.

Selain itu, wisatawan pun kini juga mulai sadar. Wisatawan yang mendaki ke Semeru ataupun Bromo kini mulai sadar bahwa memetik bunga Edelweiss itu adalah hal yang salah.

"Kan mikirnya dulu kalau pasangan biar abadi dan langgeng metik bunga Edelweiss. Sekarang enggak di sini kami ajari bahwa kalau mau abadi itu bukan memetik tapi menyebarkan benihnya," imbuh Teguh.

Taman Bunga Konservasi Edelweiss [SuaraMalang/Bob Bimantara]

Taman Edelweiss sendiri, terbuka bagi siapapun. Untuk masuknya sendiri, cukup murah. Wisatawan cuma perlu merogoh kocek Rp 10 ribu.

"Itu bukan tiket ya tapi untuk voucher. Jadi voucher itu bisa diganti dengan kopi atau teh di kafe," ujar Teguh.

Di tempat wisata itu, wisatawan tidak dibiarkan sendiri saja. Para pengelola akan mendampingi wisatawan.

"Dan akan diberitahu proses pembibitan benih cara merawat hingga jadinya seperti apa. Jadi setidaknya pulang ke sini dapat informasi berguna tidak hanya ke sini," tutur dia.

Teguh juga menuturkan, wisatawan juga bisa membeli souvenir seperti olahan dari bunga Edelweiss.

"Ada boneka ada gantungan kunci dan banyak. Semua bisa dibeli dengan harga Rp 20 ribu hingga Rp 50 ribu dan hasil keuntungannya ya buat budidaya Bunga Edelweiss ini," tutur dia.

Keuntungan dari dibentuknya taman wisata itu pun lumayan. Satu bulan, Teguh mampu mendapat keuntungan kotor Rp 50 juta.

"Itu terjadi pada bulan Oktober 2021 kemarin dengan wisatawan kurang lebih 3.392 orang itu yang terbanyak," ujarnya.

Bunga Edelweiss sendiri terdapat tiga jenis yang ditanam di Taman Wisata Bunga Edelweisa, yakni Edelweiss Jawa, Anaphalis Longifolia, dan Anaphalis Viscida.

"Dan yang asli pegunungan sini itu Edelweiss Jawa tidak ada itu di pulau lain saya pernah ke Lombok ke gunungnya itu tidak ada," kata dia.

Keistimewaannya sendiri adalah Bunga Edelweiss ini setelah dipetik tidak akan layu hingga 10 tahun.

Tentunya dengan perawatan yang tepat. Seperti berada di suhu ruangan dan tidak terkena air.

"Cuma mengering berganti warna coklat tapi bisa putih lagi. Makannya namanya itu bunga abadi. Alasannya mungkin karena ada enzim apa kami juga belum tahu," ujarnya.

Bunga Edelweiss sendiri hanya mampu berkembang dan dibudidayakan di tempat pegunungan atau di lebih dari 1000 meter atas permukaan laut.

"Kalau di suhu panas sendiri tidak bisa, tapi kalau dipetik dan dibiarkan di suhu ruangan seperti di Jakarta atau Surabaya ya gak akan layu," ujarnya.

Kini beberapa pejabat penting pun mulai tertarik untuk membudidayakan bunga abadi itu, seperti Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso, dan Wakil Gubernur Jatim Emil Dardak.

"Keduanya titip tanaman Bunga Edelweiss di sini Taman Wisata Bunga Edelweiss. Mereka mengadopsi satu pohon dan ketika panen nanti katanya mau melihat ke sini," tutup dia.

Load More