SuaraMalang.id - Tragedi Halloween Itaewon menewaskan 155 korban. Insiden maut yang terjadi di Distrik Itaewon, Korea Selatan pada Sabtu (29/10/2022) itu pun hingga kini masih menghantui publik. Tak luput, kengerian yang menjadi sorotan dunia tersebut juga membuat Halloween banyak dibicarakan.
Di balik Halloween, tersimpan sejarah dan asal usul yang menjadikannya sebagai hari ketika banyak orang menggelar dan mengikuti "pesta kostum". Halloween sendiri dirayakan setiap akhir Oktober, tepatnya tanggal 31, tetapi tak sedikit pesta kostum yang digelar mendekati 31 Oktober, termasuk saat tragedi Itaewon.
Sebenarnya, Halloween atau Hollowee'en adalah nama lain dari Allhallowe'en, All Hallows' Eve, maupun All Saints' Eve. Seperti istilah aslinya, All Saints' Eve merupakan malam peringatan Hari Raya Semua Orang Kudus berdasarkan tahun liturgi dalam Kekristenan Barat.
Setiap tahun dalam kalender liturgi, 1 November diperingati sebagai Hari Raya Semua Orang Kudus, sedangkan tanggal 2 November adalah Pengenangan Arwah Semua Orang Beriman; seperti adanya malam Natal dan malam Paskah, All Saints' Eve adalah malam peringatan hari raya di 1 November tadi.
Baca Juga:Siapa Bilang di Arab Saudi Nggak Ada Pesta Halloween? Ini Buktinya
Ketiga momen ini--Malam Hari Raya Semua Orang Kudus, Hari Raya Semua Orang Kudus, dan Pengenangan Arwah Semua Orang Beriman--menjadi satu rangkaian yang disebut Allhallowtide. Di masa ini, umat Kristen Barat memberikan penghormatan bagi para santo dan santa, atau orang kudus, serta mendoakan jiwa-jiwa yang baru saja pergi meninggalkan dunia dan sedang dalam api pencucian menuju surga.
Pesta Kostum Halloween
Di akhir abad ke-12, momen itu termasuk dalam hari raya wajib bagi Kristen Barat. Pada hari tersebut pun, ada tradisi membunyikan lonceng gereja untuk jiwa-jiwa di api pencucian.
Adapun orang-orang di masa itu memiliki kebiasaan keliling bersama mengenakan pakaian serba hitam di jalan-jalan. Sambil berparade, mereka membunyikan lonceng dengan suara sedih serta mengingatkan orang-orang Kristen untuk mengenang jiwa-jiwa yang malang.
Sementara itu, Pendeta Kristen Prince Sorie Conteh mengaitkan penggunaan kostum dengan kepercayaan pada hantu pendendam. Dipercaya, kata dia, bahwa secara tradisional, jiwa orang yang telah meninggal mengembara di bumi sampai Hari Semua Orang Kudus, dan malam Hari Semua Orang Kudus adalah kesempatan terakhir mereka untuk balas dendam pada musuh mereka sebelum pindah ke dunia berikutnya.
Baca Juga:Profil Lee Jihan, Idol Korea yang Tewas dalam Tragedi Halloween di Itaewon
Ia menjelaskan, supaya tak dikenali oleh jiwa mana pun yang mungkin mencari pembalasan tersebut, orang-orang akan mengenakan topeng atau kostum.
Banyak juga orang Kristen di daratan Eropa, terutama di Prancis, percaya bahwa setahun sekali, saat Halloween, mayat-mayat yang menghuni kuburan di sekitar gereja bangkit untuk berpesta secara liar dan mengerikan, yang dikenal sebagai "danse macabre".
Dalam The New Cambridge Medieval History, Christopher Allmand dan Rosamond McKitterick pun menuliskan bahwa danse macabre mendesak orang Kristen untuk tidak melupakan akhir dari segala hal duniawi.
Danse macabre bahkan kadang-kadang ditampilkan dalam kontes-kontes desa dan pesta istana di Eropa. Orang-orang yang mengikuti danse macabre disebutkan berdandan seperti mayat dari berbagai lapisan sosial. Kemungkinan, inilah asal mula pesta kostum Halloween menurut sang penulis.
Asal Mula Trick or Treat
Selain pesta kostum, trick-or-treating juga merupakan tradisi yang turut memeriahkan Halloween. Biasanya, sambil memakai kostum-kostum aneh atau menyeramkan, anak-anak pergi dari rumah ke rumah untuk meminta permen atau terkadang juga uang.
Saat pemilik rumah membuka pintu, anak-anak akan berseru, "Trick or treat [Mau aku jahili atau kasih permen?".
Tradisi ini bermula pada abad-15 di Inggris, Wales, Flanders, Bavaria, dan Austria. Sekelompok orang miskin--biasanya anak-anak--mengetuk satu pintu ke pintu lainnya selama Allhallowtide untuk mengumpulkan kue jiwa atau "soul cake", dan sebagai gantinya, mereka akan mendoakan jiwa-jiwa yang sudah pergi, terutama jiwa dari teman atau kerabat si pemberi kue. Praktik ini disebut souling.
Kue jiwa sendiri sering dihiasi dengan tanda salib, yang menunjukkan bahwa kue itu dibuat sebagai sedekah. Saat melakukan souling, orang Kristen biasanya membawa lentera dari lobak yang diberi lubang, yang mulanya dianggap mewakili jiwa-jiwa orang mati.
Bukan itu saja, masih bersenggolan dengan tradisi memakai kostum unik, praktik trick-or-treating disebut-sebut berakar dari praktik mumming pada abad pertengahan, yang erat hubungannya dengan souling. Gereja Kristen di Jerman, Skandinavia, dan sebagian lain Eropa dikatakan memiliki banyak hari raya yang berkaitan dengan sandiwara mumi, termasuk All Hallows' Eve.
Saat mumming, orang-orang memakai topeng dalam pakaian mewah sambil berparade di jalan-jalan dan memasuki rumah-rumah untuk menari atau bermain dadu dalam keheningan.
Asal-usul Labu jack-o'-lantern
Jack-o'-lantern biasanya dibawa oleh orang-orang yang menyamar dengan kostum mereka pada All Hallows' Eve untuk menakut-nakuti roh jahat.
Adapun sebuah cerita rakyat Kristen Irlandia yang terkenal berkaitan dengan jack-o'-lantern. Dalam cerita rakyat tersebut, jack-o;-lantern disebutkan mewakili jiwa yang telah ditolak masuk ke surga dan neraka.
Diceritakan, dalam perjalanan pulang setelah minum-minum semalaman, Jack bertemu dengan iblis dan menipunya sampai si iblis mau memanjat pohon.
Jack pun segera menggoreskan tanda salib ke kulit kayu, membuat iblis itu terjebak. Lalu, ia menawarkan bantuan asal si iblis tak mengklaim jiwa Jack.
Setelah hidup penuh dosa, miras, dan kebohongan, Jack pun dikisahkan ditolak masuk surga setelah meninggal. Namun, ia juga ditolak di neraka, mengingat si iblis pun menepati janjinya.
Akhirnya, Jack dilempari batu bara langsung dari api neraka. Karena malam itu sangat dingin, Jack meletakkan batu bara itu ke dalam lobak yang dilubangi agar apinya tidak padam. Sejak saat itu, Jack dan lenteranya berkeliaran mencari tempat untuk beristirahat.
Di Irlandia dan Skotlandia, warga lokal memiliki tradisi mengukir lobak saat Halloween, tetapi kemudian para imigran di Amerika Utara menggunakan labu asli, yang jauh lebih lembut dan jauh lebih besar, sehingga lebih mudah diukir daripada lobak.