Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Kamis, 18 Januari 2024 | 21:00 WIB
Puthu Lanang. [Foto: Instagram /@puthulanangmlg]

SuaraMalang.id - Di antara ragam kuliner khas Malang, Puthu lanang menonjol sebagai camilan tradisional yang telah menjadi bagian dari sejarah kuliner kota sejak tahun 1935.

Camilan manis ini tidak hanya dikenal karena sejarah panjangnya, tetapi juga karena kepopulerannya yang tak pernah surut di kalangan pembeli.

Puthu lanang, yang dimulai oleh pasangan pendiri Supiah dan Abdul Jalal, awalnya dijajakan dengan berkeliling menggunakan gerobak.

Namun, seiring waktu, Supiah memutuskan untuk menetapkan lokasi penjualan tetap yang dikenal sebagai Puthu Celaket, terletak di kawasan Celaket, Kota Malang.

Baca Juga: Gado-Gado Pak Wito di Malang: Menjaga Tradisi Kuliner Sejak 1977 dengan Rasa Legendaris

Meningkatnya jumlah penjual kue putu yang mengklaim sebagai bagian dari Puthu Lanang di Malang, menyebabkan pemilik asli merasa khawatir akan reputasi dan kualitas produknya.

Akibatnya, pada tahun 2003, pemilik warung asli mengajukan paten untuk merek dagang Puthu Lanang, guna mempertahankan keasliannya.

Kios Puthu Lanang yang berlokasi di depan gang kecil di Jalan Jaksa Agung Suprapto, buka setiap hari mulai pukul 17.30 WIB.

Camilan ini sangat diminati dan seringkali terjual habis dalam waktu sekitar 3,5 jam, dengan penjualan mencapai 600 hingga 700 kue setiap hari.

Untuk memenuhi permintaan yang tinggi, diperlukan sekitar 100 butir kelapa untuk santan dan sekitar 50 kilogram bahan lainnya.

Baca Juga: Bikang Kuno Pendawi: Menyantap Kenangan di Malang dengan Kue Bikang Legendaris Sejak 1980-an

Harga Puthu Lanang juga sangat terjangkau, dengan hanya Rp10.000, pelanggan dapat menikmati jajanan legendaris ini.

Ketenaran Puthu Lanang tidak hanya berdasarkan tradisi, tapi juga kualitas rasa yang konsisten, menjadikannya salah satu ikon kuliner di Malang yang wajib dicoba.

Kontributor : Elizabeth Yati

Load More