Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Taufiq
Selasa, 31 Mei 2022 | 15:05 WIB
Ilustrasi Tim Densus 88 geledah rumah terduga teroris. [Kontributor / Julianto]

SuaraMalang.id - Dosen Jurusan Hubungan Internasional (HI) FISIP Universitas Brawijaya, Yusli Effendi, juga mengatakan kalau mahasiwanya yang mempunyai ideologi radikalisme ini cukup kuat.

Mahasiswa berinisial IA itu, kata dia, terpapar paham tersebut dari komunitasnya atau orang sekitarnya. Ia mendapat doktrin ekstrem lebih banyak dari pelajaran di kampus atau program radikalisme pemerintah.

Untuk itu, dia menjelaskan, untuk menderadikalis mahasiswa itu harusnya dengan cara menjauhkan dari komunitasnya. Tidak cukup dengan ceramah saja.

"Temuan studi terbaru itu gak cukup hanya ceramah. Saya berkali-kali ceramah ke napiter di Lapas. Juga gak bisa. Dari studi terbaru itu yang lebih efektif itu dijauhkan dari komunitasnya," kata dia, Selasa (31/05/2022).

Baca Juga: Mahasiswa UB Malang yang Ditangkap ISIS Sebar Propaganda Kebencian Pada NU dan Anggap Syiah Harus Dibunuh

Caranya adalah dalam hal ini bukan tugas dari pihak kampus saja. Yusli menjelaskan, butuh partisipasi warga sekitar mahasiswa untuk antisipasi radikalisme menghinggapi mahasiswa sejak dini.

Peran masyarakat di sini awalnya hanya untuk mendeteksi kejanggalan aneh mahasiswa yang cenderung memiliki ideologi ekstrimis.

"Kita butuh pengawasan berbasis masyarakat atau komunitas dan berbasis budaya dalam hal ini masyarakat atau tetangga itu harus mengetahui," kata dia.

Warga sekitar, kata Yusli, seharusnya mampu mengenali mahasiswa dengan memanfaatkan budaya atau kultur jawa, yakni saling mengantarkan makanan.

"Kalau adat jawa itu ada namanya ater-ater makanan. Itu bisa mengatarkan makanan di tetangganya. Akhirnya bisa mengenali. Jadi orang atau tetangganya begini dalam beberapa hal gak mau. Itu bisa dideteksi dengan cara pendekatan seperti itu," imbuh dia.

Baca Juga: Dosen UB Malang Sampai Nyerah Nasihati Mahasiswanya yang Dibekuk Densus 88: Dia Memang Atos...!

Namun, kata Yusli, dalam konteks penangkapan IA, cara seperti itu tidak di lakukan. Dengan konteks masyarakat Kota kekinian, budaya-budaya seperti ater-ater makanan itu jarang ditemui.

"Kalau sekarang masyarakat kota individual. Kita gak tau kanan kiri tetangga kita merakit bom. Jadi itu pentingnya pengawasan berbasis budaya," kata dia.

Sementara untuk 'penyembuhan' paham radikalisme itu bukanlah tugas warga.

"Kalau menyembuhkan itu perlu intensitas yang lebih tinggi. Warga hanya mendeteksi awal dan nanti akan berkoordinasi dengan Babinsa atau Bhabinkamtibmas," ujarnya.

Untuk penyembuhan dari paham radikalisme sendiri, perlu adanya pemberian modal dan pekerjaan.

Sebab berdasarkan pengalamannya, napiter kebanyakan tidak diterima oleh masyarakat. Padahal seorang napiter itu masih perlu makan dan menafkahi keluarganya.

"Beberapa napiter berdasarkan pengalaman saya mereka dijauhi. Kerjaan gak ada. Jadi penyembuhan itu bisa melalui memberikan pekerjaan atau modal. Kalau sudah gak diterima dia akan kembali lagi," kata dia.

Load More