Scroll untuk membaca artikel
Abdul Aziz Mahrizal Ramadan
Kamis, 07 April 2022 | 17:14 WIB
Masjid At-Thohiriyah atau Masjid Bungkuk, Singosari, Malang. [Suara.com/Bob Bimantara Leander]

SuaraMalang.id - Masjid terletak di Jalan Bungkuk, RT 04 RW 04 Kelurahan Pagentan Kecamatan Singosari Kabupaten Malang. Nampak megah masjid dengan cat berwarna krem.

Masjid At-Thohiriyah atau lebih dikenal dengan Masjid Bungkuk merupakan saksi bisu penyebaran Islam di Malang Raya khususnya Kecamatan Singosari.

Namun di tengah masjid dua lantai itu terdapat empat pilar kayu setinggi lima meter dengan ukiran. Persis di tengah antar pilar terdapat lampu gantung.

Empat kayu tersebutlah saksi bisu sejarah penyebaran masjid itu.

Baca Juga: Sejarah Masjid Jogokariyan: Muncul di Sarang Komunis Kini Jadi Tempat Rekonsiliasi Eks PKI

Penasihat Masjid Bungkuk, H. Moensif Nachrawi menjelaskan, empat kayu itu adalah sisa peninggalan Kiai Hamimuddin. 

Diceritakannya Hamimuddin merupakan bekas Laskar Pangeran Diponegoro. Pada tahun 1825 Laskar tersebut kalah oleh Belanda dan Hamimuddin berpindah ke Malang untuk menyebar agama Islam.

"Ketika perang Belanda - Diponegoro dan kalah. Pangeran Diponegoro berpesan bagi laskar-laskarnya agar menyebarkan agama Islam dimanapun berada. Termasuk salah satunya Kiai Hamimuddin di Malang," kata dia, Kamis (7/4/2022).

Moensif saat datang ke Singosari, waktu itu langsung membangun sebuah gubuk di tengah hutan.

Gubuk itu dibangun dengan material seadanya seperti bambu. Gubuk itu difungsikan sebagai masjid bagi Kyai Hamimuddin.

Baca Juga: Jejak Sejarah Masjid Raya Singkawang, Ikon Kota Paling Toleran

"Dulu itu gubuk tapi difungsikan buat salat dan juga untuk mengajar ngaji di tengah hutan. Awalnya hanya ada satu dua santri," ujarnya.

Setelah hadir di wilayah Singosari, gubuk itu pun menjadi perbincangan warga sekitar yang merupakan mayoritas warga Hindu.

Dijelaskan, Moensif, banyak warga Hindu di wilayah Singosari karena peninggalan Kerajaan Singosari.

Perbincangan itu dikarenakan waktu itu kegiatan salat di gubuk atau masjid itu adalah hal yang baru. Bagian salat saat rukuk dan sujud adalah hal baru bagi warga beragama Hindu pada waktu itu.

"Makannya ada omongan-omongan dari telinga itu loh di sana ada bungkuk-bungkuk. Padahal itu rukuk. Makannya masjid ini atau kawasan ini disebut sebagai Bungkuk," kata dia.

Beberapa warga pun penasaran dengan kegiatan itu. Ditemukanlah hal yang diinginkan warga beragama Hindu waktu itu di agama Islam yang waktu dianggap baru.

Keinginan itu berupa kesetaraan bagi semua manusia. Dijelaskan Moensif, di agama Hindu terdapat empat strata atau tingkatan dan membedakan setiao manusia.

"Lah di Islam ini warga sekitar merasa lebih dihargai sebagai orang. Akhirnya banyak yang mengaji dan salat digubuk itu dan masuk Islam," ujarnya.

Seiring dengan perkembangannya waktu dan santri, gubuk itu pun dibuat bangunan semi permanen. 

Empat kayu yang hingga kini ada itu dijadikan tiang penyangga genteng masjid oleh Hamimuddin. Pembangunan masjid sederhana itu, kata Moenif, dilakukan pada tahun yang tidak tahu pastinya.

"Dulu itu langsung dijadikan masjid dengan bangunan semi permanen. Ada genteng, bata. Karena genteng pasti ada penyangga dan kayu itu dijadikan tiang penyangga. Dan kayu itu bertahan sampai saat ini dengan dilapisi ukiran kayu jati sebagai sisa peninggalan sejarah," tutur dia.

Sementara itu dengan banyaknya santri yang ada, Kyai Hamimuddin akhirnta juga membangun gubuk-gubuk bagi santri untuk bermukim.

Saat ini gubuk-gubuk itu pun menjadi Pondok Pesantren tertua bernama Miftahul Falah.

"Karena tujuannya gubuk-gubuk itu awalnya buat santri supaya tidak ketinggalan salat lima waktu dan mengaji akhirnya tinggal di sana dan sekarang jadi pondok pesantren," tuturnya

Makam Tanpa Nama

Makam di dalam Masjid At-Thohiriyah atau Masjid Bungkuk, Singosari, Malang. [Suara.com/Bob Bimantara Leander]

Siang ini azan Zuhur berkumandang dengan lantang. Sejumlah warga sekitar mulai memasuki masjid itu satu per satu.

Suasana khusyuk pun terjadi di dua shaf untuk salat Zuhur berjamaah.

Penasihat Masjid Bungkuk, H. Moensif menjelaskan, masjid itu bisa memuat hingga 600 jamaah.

Saat ini bangunan masjid tersebut dirombak total. Hanya menyisahkan empat kayu sebagai peninggalan saja.

"Direnovasi pada 13 atau 14 tahun lalu. Kenapa direnovasi karena jamaah semakin banyak kalau salat Jumat itu sampai ke luar masjid. Maka dari itu diperbesar hingga dua lantai seperti sekarang," ujarnya.

Pada saat renovasi itu, Moensif mengatakan, ternyata di bawah empat tiang kayu itu terdapat batu gilang untuk memperkuat empat tiang candi.

Batu gilang itu sebagai informasi dipakai untuk memperkuat pondasi candi-candi. Untuk batu gilang di bawah empat kayu itu dibentuk oleh dua batu. Satu batu berbentuk moncong dan lainnya ada lubang di tengah batu.

"Ada delapan batu gilang di sana. Satu sama lain bergandeng. Jadi itu memperkuat kayu agar tegak. Biasanya batu gilang ini dibuat untuk menyusun candi. Meskipun gempa mungkin goyang saja tapi tidak sampai runtuh," tutur dia.

Sementara itu, di sebelah barat masjid, terdapat sejumlah makam. Salah satunya adalah makam Kiai Hamimuddin dan juga menantunya Kiai Thohir.

Makam tersebut dipagari oleh stainless steel. Makam tersebut terletak di sebuah ruangan tepat bersebalahan dengan tempat imam salat di masjid itu.

Tidak ada nama di nisan kedua makam tersebut.

"Kenapa gak ada namanya? Karena memang tradisinya di sini sejak dulu tidak ada nama," ujarnya.

Moensif menambahkan, banyak masyarakat yang biasanya berziarah di makam tersebut untuk mendoakan almarhum Hamimuddin.

"Akhirnya juga ada beberapa masyarakat yang dimakamkan di sana juga karena siapa yang gak mau juga ikut didoakan oleh para peziarah," tutupnya.

Kontributor : Bob Bimantara Leander

Load More