SuaraMalang.id - Komnas Perlindungan Anak turut mengawal kasus perundungan siswi SD korban kekerasan seksual di Kota Malang, Jawa Timur. Komnas PA akan terus mendampingi korban hingga proses hukum tuntas.
Ketua Komans PA, Arist Merdeka Sirait mengatakan, pihaknya telah mengirim sekitar 6 orang untuk melakukan pendampingan hukum dan terapi psikososial terhadap korban yang memang masih berusia 13 tahun tersebut.
Berdasar hasil laporan sementara yang diterimanya, korban memang mengalami trauma akibat pencabulan (kekerasan seksual) dan perundungan.
"Update posisi korban saat ini sedang dalam keadaan trauma. Maka perwakilan Komnas PA di Malang menemui korban dan melakukan pendampingan. Proses hukum, tentu mengedepankan diversi dengan melibatkan orang tua masing-masing, karena ini kegagalan orang tua," katanya seperti dikutip dari TIMES Indonesia jejaring media Suara.com, Kamis (25/11/2021).
Diakui Arist, kasus tersebut sangat memilukan. Sebab, 7 orang tersangka seluruhnya merupakan anak di bawah umur, atau kisaran 18 tahun ke bawah.
"Oleh karena itu, sangat berhati-hati pendekatannya, karena memang ancamannya kalau kejahatan seksual itu dalam UU perlindungan anak kan minimal 5 tahun maksimal 15 tahun. Tapi, karena pelaku masih anak-anak, dia tidak boleh dihukum lebih dari 10 tahun. Itulah UU 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak," jelasnya.
Meski telah ditetapkan tersangka, lanjut dia, Komnas PA beharap Polresta Malang Kota melakukan proses hukum berpedoman sistem peradilan pidana anak.
"Kalau secara umum kan bisa dikebiri, hukuman seumur hidup atau hukuman mati (kejahatan seksual), itu ada di aturan UU 17 tahun 2016. Tapi karena ini pelakunya anak dan korban anak, maka penyelesaian hukum pidananya menggunakan UU 11 tahun 2012. Tidak lebih 10 tahun dan gak boleh seumur hidup," ungkapnya.
Kasus yang melibatkan para tersangka masih di bawah umur dinilainya akibat kegagalan pendidikan, terutama lingkungan terdekat.
Baca Juga: Kasus Kekerasan Seksual di Malang Bikin Gubernur Khofifah Murka, Minta Polisi Usut Tuntas
"Ini merupakan kegagalan proses pendidikan karakter. Orang tua (atau yang mengasuh) yang harus disalahkan, bukan anaknya. Mirisnya, diantara tujuh tersangka, hasil konfirmasi kita ada yang berusia 13 tahun," tegasnya.
Pemerintah seharusnya bisa hadir dalam melakukan pengawasan, mulai dari panti asuhan, pesantren, lingkungan sekolah hingga lingkungan tempat tinggal. Agar dapat membangun kesadaran masyarakat tentang perlindungan anak berbasis keluarga dan komunitas.
"Orang tua juga harus mengawasi secara ketat, karena kasus ini pola pengaturannya yang salah. Kalau di rumah sudah ada interaksi bersahabat dan baik, anak-anak itu setidaknya bisa mengetahui cara untuk menghindari kejadian ini," tuturnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pendidikan Gustika Hatta, Pantas Berani Sebut Indonesia Dipimpin Penculik dan Anak Haram Konstitusi
- Gebrak Meja Polemik Royalti, Menkumham Perintahkan Audit Total LMKN dan LMK!
- Detik-Detik Pengumuman Hasil Tes DNA: Ridwan Kamil Siap Terima Takdir, Lisa Mariana Tetap Yakin
- Kasih Kode Mau Bela Timnas Indonesia, Ryan Flamingo Kadung Janji dengan Ibunda
- Putrinya Bukan Darah Daging Ridwan Kamil, Lisa Mariana: Berarti Anak Tuyul
Pilihan
-
Heboh Warga Solo Dituduh Buron 14 Tahun, Kuasa Hukum Tak Habis Pikir: Padahal di Penjara
-
7 Rekomendasi HP Gaming Rp 2 Jutaan RAM 8 GB Terbaru Agustus 2025, Murah Performa Lancar
-
Neraca Pembayaran RI Minus Rp109 Triliun, Biang Keroknya Defisit Transaksi Berjalan
-
Kak Ros dan Realita Pahit Generasi Sandwich
-
Immanuel Ebenezer: Saya Lebih Baik Kehilangan Jabatan
Terkini
-
Prestasi BRI di Panggung Global: 3 Penghargaan dari Euromoney Awards for Excellence 2025
-
Layanan QLola by BRI Dukung Sektor E-Commerce hingga Fintech
-
Layanan BRI Taipei Permudah Transaksi Keuangan PMI, Dapat Sambutan Positif
-
Ini 8 Kontribusi Nyata BRI dalam Mendukung Bangsa Semakin Berdaulat, Sejahtera dan Maju
-
BRI Consumer Expo 2025 Hadir di Mall Paskal 23, Bandung hingga 17 Agustus 2025