SuaraMalang.id - Polisi sudah menetapkan tujuh tersangka kekerasan seksual dan persekusi atau penganiayaan anak di Kota Malang, Jawa Timur. Diketahui para pelaku kejahatan ini berstatus anak di bawah umur.
Menanggapi hal tersebut, Psikolog sekaligus Ketua Himpunan Psikologi (HIMPSI) Malang, M. Salis Yuniardi, PhD menjelaskan, sebenarnya para pelaku persekusi itu juga korban jika dipandang dari perspektif psikologis anak.
Dijelaskannya, anak-anak tersebut adalah korban dari pengabaian oleh lingkungannya, atau bisa saja orang terdekatnya seperti orang tua.
"Kalau kita bicara dari perspektif psikologis anak. Jika pelaku itu adalah anak. Pelaku itu juga korban. Karena dia korban dari pengabaian tumbuh kembangnya," ujarnya, Kamis (25/11/2021).
Seharusnya anak itu memiliki Self-Efficacy atau efikasi diri, yakni keyakinan akan kemampuan diri dari lingkungan sekitarnya seperti orang tua. Orang tua atau lingkungan sekitarnya mampu memberikan contoh yang baik. Sehingga anak bisa menumbuhkan efikasi diri yang cukup.
Namun jika anak tidak mempunyai sumber atau contoh yang baik, dia pun akan memiliki efikasi diri yang rendah.
"Sehingga dia (anak) cenderung memandang diri dan lingkungannya dengan negatif atau memakai kacamata hitam," imbuh dia.
Dalam konteks kasus yang viral tersebut pun, kemungkinan para pelaku itu tidak memiliki contoh yang baik saat tumbuh kembang. Sehingga memiliki efikasi diri yang rendah.
"Dan yang muncul naluri hewannya Survival Of The Fittest sehingga melakukan perilaku seperti itu,"
Baca Juga: Respon Wali Kota Malang Menyikapi Kasus Persekusi Korban Kekerasan Seksual Anak
Untuk itu, Salis pun menyarankan, selain proses hukum yang tetap berlangsung, para pelaku musti mendapat pendampingan psikologis.
Di LPA (Lembaga Pemasyarakatan Anak) nanti, para pelaku harus didampingi oleh sosok yang seperti orang tua yang mendidik dan menyayangi mereka.
"Agar dia kembali melembutkan hatinya mematangkan emosinya. Mampu menyelesaikan masalah dengan baik dan mencari solusi atas semua masalah dengan benar," kata Dekan Fakultas Psikologi UMM itu.
Memang, para pelaku tersebut melakukan sesuatu yang di luar nalar manusia atau perbuatan keji. Namun, para pelaku itu masih punya masa depan, kata Salis.
"Di LPA nanti harus mendapat pendampingan psikologis. ada sosok wali asuh layaknya orang tua dan lingkungan yang hangat. Sehingga anak itu bisa meriset kembali apa yang dilakukannya kemarin dan menjadi anak dengan tumbuh kembang yang baik," kata dia.
Jika tidak dilakukan pendampingan, anak-anak tersebut malah berbahaya saat dewasa. Salis menyebut bahwa para pelaku tersebut bisa saja menjadi sosiopat atau psikopat saat keluar dari LPA.
Berita Terkait
Terpopuler
- Erick Thohir Umumkan Calon Pelatih Baru Timnas Indonesia
- 4 Daftar Mobil Kecil Toyota Bekas Dikenal Ekonomis dan Bandel buat Harian
- 5 Lipstik Transferproof untuk Kondangan, Tidak Luntur Dipakai Makan dan Minum
- 5 Rekomendasi Sepatu Running Selevel Adidas Adizero Versi Lokal, Lentur dan Kuat Tahan Beban
- 8 City Car yang Kuat Nanjak dan Tak Manja Dibawa Perjalanan Jauh
Pilihan
-
Kisi-Kisi Pelatih Timnas Indonesia Akhirnya Dibocorkan Sumardji
-
Hasil Drawing Play Off Piala Dunia 2026: Timnas Italia Ditantang Irlandia Utara!
-
Pengungsi Gunung Semeru "Dihantui" Gangguan Kesehatan, Stok Obat Menipis!
-
Menkeu Purbaya Lagi Gacor, Tapi APBN Tekor
-
realme C85 Series Pecahkan Rekor Dunia Berkat Teknologi IP69 Pro: 280 Orang Tenggelamkan Ponsel
Terkini
-
Akses Jalan Malang-Lumajang Ditutup Usai Erupsi Gunung Semeru, Ini Penjelasan Polisi
-
BRI Pimpin Sindikasi Rp5,2 Triliun untuk SSMS, Perkuat Dukungan pada Sektor Agribisnis Nasional
-
BRI Sabet Penghargaan ASRA 2025 untuk Laporan Keberlanjutan Terbaik
-
BRI Hadirkan RVM di KOPLING 2025 Lewat Program Yok Kita Gas
-
Berpartisipasi dalam PRABU Expo 2025, BRI Perkuat Ekosistem Ekonomi Kerakyatan Modern