SuaraMalang.id - Setelah pemerintah memutuskan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, termasuk solar, kini persoalan baru muncul dan memusingkan para nelan di Jawa Timur.
Sebelumnya, harga solar subsidi memang naik harga Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter. Kenaikan ini sudah memusingkan, ditambah sekarang stoknya juga habis di sejumlah agen.
Nelayan terpaksa membeli di SPBU dengan harga lebih mahal 500-1000 rupiah per liter. Solar subsidi di SPBU dibeli dengan harga Rp 7.800 per liter sudah termasuk ongkos angkut dari SPBU ke sentra sentra nelayan.
Keluhan ini disampaikan Ketua Umum Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan (FMKMP) Oki Lukito. Ia mencontohkan, di Pelabuhan Perikanan Popoh dan Sine, Tulungagung misalnya, aktivitas nelayan tidak optimal karena suplai BBM solar subsidi terbatas.
Baca Juga:Nelayan Menjerit Solar Langka, Pemerintah Diminta Beri Solusi
"Solar yang dikirim tidak pernah mencukupi memenuhi kebutuhan nelayan di Tulungagung. Jumlah Kapal pengguna BBM solar subsidi di Popoh sebanyak 21 kapal kebutuhan solar saat musim ikan 10.500 liter/hari," ujarnya dikutip dari beritajatim.com jejaring media suara.com.
"Sedangkan di Sine jumlah kapal 11 unit kebutuhan solar saat musim ikan 4400 liter/3 hari. Sementara SPDN belum ada sehingga nelayan harus membeli di SPBU dengan harga lebih mahal," papar Oki.
Ditambahkannya bahwa di Pancer, Banyuwangi per hari ini dibutuhkan 8 ton solar. Sebagian kapal yang tidak memiliki dokumen lengkap harus membeli solar non subsidi.
Sama halnya dengan di Popoh, pelabuhan perikanan Pancer juga belum mempunyai SPDN sehingga pembelian solar dilakukan di SPBU dengan selisih harga 1000 rupiah lebih mahal.
"Pihak pelabuhan menerbitkan rekom pembelian solar subsidi untuk kapal yang berdokumen lengkap dan masih berlaku. Jumlah kapal10-30 GT di Pancer sebanyak 48 kapal, dibawah 10 GT sebanyak kurang lebih 700 kapal," kata Oki Lukito.
Sementara di Pelabuhan Perikanan Puger, Jember, nelayan juga harus membeli solar subsidi di SPBU karena terbatasnya pasokan solar di SPDN. Hal yang sama juga dialami nelayan Pantura, Mayangan Probolinggo, pasongsongan, Sumenep, Brondong, Lamongan serta Bulu, Tuban.
"Sejak diumumkan kenaikan harga solar subsidi, banyak nelayan memutuskan tidak melaut," ujarnya menambahkan.
"Sebab kenaikan harga solar subsidi sebesar Rp 1600 per liter sangat memberatkan dan membengkaknya biaya operasional sementara hasil tangkapan tidak pasti mengingat perubahan iklim dan kondisi over fishing di sejumlah perairan," kata Oki Lukito.
Menyikapi kondisi yang berkembang di sentra sentra nelayan saat ini, Oki Lukito meminta Gubernur Jatim dan penerintah memberlakukan darurat nelayan, dengan berbagai upaya untuk meringankan beban nelayan diantaranya, menghapus pungutan pungutan di pelabuhan seperti retribusi TPI, biaya pengurusan Surat Ijin Berlayar (SIB) dan lainnya.
Gubernur juga diminta menunda diberlakukannya ketentuan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pasca produksi nelayan serta mengalihkan biaya pembangunan infrastruktur di sejumlah pelabuhan untuk menstimulan usaha budidaya laut (marine culture) bagi kelompok kelompok nelayan.
"Selama ini pembangunan dan perluasan pelabuhan perikanan setiap tahun dianggarkan Rp 50-70 miliar per tahun yang manfaatnya tidak dirasakan nelayan," kata Oki.
Selain itu pemerintah dan Gubernur Jatim diminta intens memberdayakan UMKM keluarga nelayan yang jumlahnya sampai saat ini dinilainya masih sangat kecil dibandingkan jumlah keluarga nelayan di 20 kota/kabupaten di Jawa Timur yang memiliki wilayah laut.