SuaraMalang.id - Omicron memang membuat cemas di mana-mana, apalagi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan bahwa varian ini menyebar dalam tingkat yang tak pernah terlihat sebelum ini.
Misalnya disampaikan Sekretaris Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus. Ia mengatakan paling sedikit 77 negara sudah terserang varian ini dan mungkin lebih banyak lagi karena banyak negara yang belum mendeteksi varian ini.
Indonesia baru menemukan kasus satu orang pada 16 Desember lalu. Konon, Omicron disebut-sebut 25 sampai 50 persen lebih menular ketimbang varian Delta.
Padahal varian Delta sendiri 50 persen lebih menular daripada varian Alfa yang ini pun 50 persen lebih menular dibandingkan virus awal SARS-CoV-2.
Baca Juga:Kekhawatiran Atas Virus Varian Omicron, Wall Street Berakhir Lebih Rendah
Bahkan Omicron bisa menginfeksi orang yang sudah divaksinasi dan mereka yang sebelumnya pernah terjangkit COVID-19. Para pakar menyebutkan Omicron memperlihatkan 30 mutasi pada bagian protein.
Lonjakan yang menutupi bagian luar virus ini yang menjadi target utama vaksin serta pengobatan seperti terapi antibodi monoklonal di mana protein yang dibuat laboratorium untuk meniru sistem kekebalan tubuh dipakai guna melawan antigen berbahaya.
Meskipun demikian, para ahli menyatakan terlalu dini menyimpulkan varian ini tidak ganas karena sebagian besar kasus di Afrika Selatan terjadi pada kalangan muda usia.
Lain ceritanya seandainya varian ini menyerang kelompok rentan seperti manula dan mereka yang komorbid.
Data Afrika Selatan itu sendiri sejalan dengan temuan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) di Amerika Serikat yang memastikan kebanyakan kasus pertama Omicron di negeri ini juga menunjukkan gejala ringan.
Baca Juga:Omicron Masuk Indonesia, Ketua DPRD DKI Minta Warga Lebih Disiplin Prokes
Karena belum jelas benar, para ilmuwan sampai detik ini terus bekerja keras mengetahui daya tular, tingkat keparahan dan kemampuan varian ini dalam menghindari vaksin.
Tapi konsensus sementara dari berbagai laporan awal menyebutkan gejalanya ringan dan ini membersitkan harapan bahwa Omicron tidak mematikan seperti varian-varian sebelumnya.
Namun sejumlah pakar seperti spesialis penyakit menular Muge Evik dari Universitas St Andrews di Inggris, menilai asumsi itu terlalu dini karena ditarik dari data yang belum lengkap, apalagi kebanyakan yang tertular di Afrika Selatan adalah kaum muda yang lebih tahan dari COVID-19 ketimbang manula atau kalangan komorbid.
Muge Evik justru mengkhawatirkan skenario ketika varian ini menulari kelompok rentan yang merupakan kelompok yang paling banyak terenggut nyawanya oleh COVID-19.
"Saya kira pertanyaan seputar tingkat keparahan akan menjadi salah satu bagian terakhir yang baru bisa kita uraikan," kata Muge Evik dalam jurnal Nature.
"Ini pula yang terjadi pada Delta," katanya menegaskan.
Tetap saja, data yang terlihat di Afrika Selatan dan sejumlah negara seperti Inggris dan AS, menunjukkan konsistensi bahwa varian ini tak begitu berbahaya meski memang jauh lebih menular.
Sementara itu sejumlah produsen vaksin COVID-19 mengklaim bahwa vaksin mereka efektif melawan Omicron.
Rangkaian informasi yang dianggap prematur oleh sebagian kalangan tersebut membuat sejumlah pihak beranggapan bahwa varian yang tidak lagi mematikan adalah petunjuk mengenai kemungkinan segera berakhirnya pandemi.
Salah satu di antaranya adalah koran bisnis terkemuka Wall Street Journal yang menyebut 'mutasi memang terdengar mengerikan, tetapi mutasi bisa membuat patogen menjadi kurang begitu berbahaya."
Banyak yang berharap Omicron menjadi petunjuk untuk kian dekatnya babak akhir pandemi COVID-19 yang sudah hampir dua tahun melanda dunia.
Tetapi kebanyakan pandemi memang baru musnah dua setengah tahun atau tiga setengah tahun setelah mengharu biru dunia. Sejak pandemi flu Spanyol 1918 sampai pandemi flu babi 2009, patogen-patogen melewati kurun masa seperti itu.
Virus penyebab pandemi biasanya akan terus bermutasi untuk kemudian menjadi endemik yang lebih mudah dikelola dan tak lagi mengganggu kehidupan sehari-hari. Ini pula yang terjadi pada strain influenza yang menyebabkan pandemi flu 1918.
Para virolog berharap SARS-CoV-2 pun akan seperti flu Spanyol, sambil menunjuk kecenderungan berkurangnya tingkat keberbahayaan virus corona yang bisa terjadi karena vaksin, obat-obatan yang lebih mudah didapatkan, kekebalan tubuh mereka yang pernah tertular, dan tentunya protokol kesehatan.
Technical Head COVID WHO Maria Van Kerkhove sendiri menyebut 2022 sebagai tahun di mana pandemi COVID-19 pupus secara global.
Sedangkan penelitian yang dibuat Mckinsey menyatakan COVID segera diumumkan sebagai non pandemi tahun depan. Alasannya, tahun depan tingkat vaksinasi global akan membesar dan obat anti-COVID sudah tersebar luas sehingga mudah didapatkan.
Namun demikian, sedia payung sebelum hujan dengan setia kepada protokol kesehatan adalah tetap yang terbaik.
Negara-negara seperti Australia, Selandia Baru, Vietnam, Korea Selatan dan Jepang bisa menekan kasus COVID-19 serendah-rendahnya di antaranya karena setia kepada protokol kesehatan yang bahkan sudah menjadi gaya hidup jauh sebelum pandemi melanda.
Dalam beberapa hal, masyarakat Indonesia juga sudah akrab dengan sebagian unsur protokol kesehatan karena sudah menjadi bagian kearifan lokal dan bahkan dianjurkan semua keyakinan yang memang memuliakan hidup sehat.
Di antara yang bisa disebut adalah kebiasaan lama mencuci tangan sebelum makan dan menutup mulut saat bersin. Ini ternyata bukan semata etiket, tapi juga bentuk tanggung jawab kepada orang lain agar tak kecipratan percikan bersin.
Kebiasaan baik yang terbukti merupakan pencegahan efektif dalam menangkal COVID-19 itu mesti berlanjut, bahkan menjadi gaya hidup agar orang peduli dan waspada penyakit tanpa khawatir beraktivitas walau pandemi mengintai. ANTARA