Begini Modus Kekerasan Seksual dan Eksploitasi Pelajar di SMA Selamat Pagi Indonesia

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) membeberkan modus dugaan kekerasan seksual, kekerasan fisik dan eksploitasi yang terjadi di SMA Selamat Pagi Indonesia, Kota Batu

Abdul Aziz Mahrizal Ramadan
Rabu, 09 Juni 2021 | 16:12 WIB
Begini Modus Kekerasan Seksual dan Eksploitasi Pelajar di SMA Selamat Pagi Indonesia
ilustrasi. - Komnas PA Beberkan Modus Dugaan Kekerasan Seksual dan Eksploitasi di Sekolah SPI Kota Batu. - Ketua Komnas Anak Arist Merdeka Sirait saat acara peluncuran Komnas Anak TV di Kantor Komisi Nasional Anak Indonesia, Jakarta Timur, Senin (12/4/2021). [Suara.com/Alfian Winanto]

SuaraMalang.id - Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) membeberkan modus dugaan kekerasan seksual, kekerasan fisik dan eksploitasi yang terjadi di SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI), Kota Batu, Jawa Timur.

Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait mengatakan, pihaknya telah menerima keterangan dari beberapa korban mengenai bentuk atau modus kejahatan yang dilakukan terduga pelaku berinisial JE, pemilik atau pendiri SMA Selamat Pagi.

Para korban mayoritas alumni itu mengaku mengalami beragam kejahatan, mulai kekerasan seksual (pelecehan seksual atau asusila), kekerasan fisik dan eksploitasi ekonomi.

Perbuatan tak senonoh terduga pelaku itu dilakukan dengan memanggil satu per satu korban atau siswa.

Baca Juga:Dinas Pendidikan Jatim Evaluasi Kurikulum SMA Selamat Pagi Indonesia Kota Batu

"Artinya ada rencana, ini serangan kekerasan seksual, bukan pemerkosaan lagi. Jadi mereka dipanggil satu-satu dengan ancaman, dengan tekanan dan ada bujuk rayunya nanti dijanjikan sebuah tanah," katanya ditemui awak media di Mapolres Batu, Rabu (9/6/2021).

Bahkan aksi bejat pelaku itu telah dilakukan berulang kali.

"Dan ini sudah dilakukan lebih dari 15 kali," imbuhnya.

Ia melanjutkan, untuk eksploitasi ekonomi, yakni para siswa atau korban yang notabene masih usia anak itu dipekerjakan melebihi jam waktu kerja hingga mengabaikan kewajiban belajar.

"Eksploitasi ekonomi korban dipekerjakan tetapi sekolahnya diabaikan. Misalkan ada tamu mereka justru melayani tamu padahal jam 09.00 adalah jam sekolah. Artinya itu mengabaikan sekolah pendidikannya," sambungnya.

Baca Juga:Kesaksian Alumni SMA SPI: Bekerja di Sana Seperti Kerja Rodi, Sistemnya Tak Beres

Berdasarkan kesaksian korban, lanjut dia, siswa yang bekerja tidak dibayar secara layak.

Mereka hanya diberi reward berupa tabungan. Rinciannya untuk siswa kelas satu diberi reward Rp 100 ribu per bulan, kelas dua diberi reward Rp 200 ribu per bulan, dan kelas tiga diberi per bulan Rp 500 ribu.

"Jadi mereka itu bekerja lebih dari tujuh jam. Jadi memang diberi reward tapi tidak berdasarkan upah minimum," kata dia.

Lalu untuk kekerasan fisik, kata Arist, korban mendapatkan perlakukan tak manusiawi. Seperti disiram dan ditendang jika melakukan kesalahan.

"Ada kekerasan jika ada tamu terus ada kesalahan bicara tidak berdasarkan skripsi ke tamu, disiram dan ditendang. Apalagi anak-anak ini kan masih sekolah kadang ngantuk kemudian tidur sembunyi-sembunyi ketahuan langsung disiram yang menyiram itu pengelola," urainya.

Kontributor : Bob Bimantara Leander

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini