Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Taufiq
Kamis, 26 Mei 2022 | 15:30 WIB
Manuskrip kuno di GPIH Malang [SuaraMalang/Bob Bimantara]

SuaraMalang.id - Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Immanuel Kota Malang mempunyai manuskrip berumur lebih dari 150 tahun.

Manuskrip itu merupakan peninggalan kolonial Belanda saat pembangunan gereja pada tahun 1861.

Pendeta GPIB Immanuel Malang, Pendeta Richard Agung Sutjahjono menjelaskan, manuskrip itu adalah kitab Injil berbahasa asli Belanda Kuno. Ada dua kitab yang dibawa Belanda ke gereja yang berada di Jalan Merdeka Barat Kota Malang.

Saat ini dua kitab itu tersimpan dengan baik di sebuah almari. Terlihat terdapat cahaya lampu untuk menerangi dua manuskrip yang tebal itu.

Baca Juga: Apa itu Thogut? Julukan untuk Polisi dari Mahasiswa Terduga Teroris di Malang

"Alkitab itu dibuat oleh Pemerintahan Hindia-Belanda tahun 1861. Alkitab itu diproduksi di Belanda lalu dibawa oleh pemerintah Hindia Belanda. Itu waktu Belanda VOC," kata dia, Kamis (26/5/2022).

Richard menjelaskan, dua manuskrip itu masih kental keasliannya. Sampul manuskrip tersebut terbuat dari kulit domba jantan asli dari negara kincir angin itu.

"Kulit domba itu digunakan karena sebagai simbol keagamaan gereja Protestan Belanda. Simbol domba itu karena domba hewan yang menurut dibandingkan kambing," tuturnya.

Richard mengatakan, dua manuskrip itu sekarang hanya disimpan di almari. Saat ini jamaah GPIB Immanuel saat beribadah menggunakan alkitab imitiasi.

"Sekarang yang dipakai itu imitasinya aja, digandakan dalam Bahasa Indonesia," imbuh dia.

Baca Juga: Universitas Brawijaya Buka Suara Terkait Mahasiswanya Tertangkap Densus 88 hingga Respons Wali Kota Malang Sutiaji

Selama disimpan di almari, Richard menjelaskan, dua manuskrip itu beberapa kali hendak ditarik pemerintah. Pemerintah menginginkan dua manuskrip itu disimpan di Perpustakaan Nasional. Namun dia menolak.

"Itu beberapa kali diminta Pemerintah. Tapi tidak kami berikan karena takut diperjualbelikan," tambahnya.

Ketakutan itu wajar saja. Sebab kata Richard beberapa kali kolektor menginginkan dua manuskrip itu untuk dibeli. Kolektor itu menawarkan untuk mengganti dua manuskrip itu dengan rumah dan mobil. Tapi lagi Richard menolak tawaean itu.

"Ya mungkin dipahaminya (dipahami kolektor) secara mistis. Mungkin kalau punya al-kitab itu bisa saja selamat, bisa aja seperti itu," tuturnya.

Alasan Richard tidak ingin melepas kedua manuskrip itu karena merupakan karakteristik dari gereja.

Untuk itu, dua manuskrip itu dijaganya dengan baik-baik.

"Itu dijaga. Tidak hanya dikasih CCTV, tapi kalau menyentuh benda itu akan bunyi tiiit tiit tiit," tuturnya.

Oleh karena itu, saat meninjau ke lokasi, dua manuskrip itu tidak bisa ditunjukan langsung. Wartawan online ini hanya bisa memfoto dari balik almari berkaca itu.

"Dua kitab itu berat. Satu kitab seberat lima kilogram dua kitab jadi 10 kikogram," ujarnya.

Pemerhati Budaya Malang, Agung H. Buana menambahkan, dua manuskrip itu tidak dipakai karena memang berbahasa Belanda Kuno.

Dia menjelaskan, saat itu kitab itu dibawa dari Belanda ke Kota Malang, karena gereja itu dikhususkan untuk jamaah yang merupakan warga Belanda tinggal di Kota Malang.

"1861 dibangun diperuntukan untuk pegawai dan pejabat Hindia-Belanda jadi itu gereja negara. Maksudnya khusus untuk orang-orang Belanda. Dan pembangunannya dibiayai oleh orang Belanda," tuturnya.

Agung juga mendukung, jika dua manuskrip itu disimpan di dalam gereja. Menurutnya, di Perpustakaan Nasional belum mempunyai teknologi untuk menyimpan manuskrip berusia ratusan tahun.

"Di dalam gereja itu manuskrip itu dilindungi banget dimasukan lemari bagus dan dikasih pencahayaan. Sehingga pelestariannya lebih terjamin. Perpustakaan belum punya teknolohi untuk menyimpan manuskrip berumur ratusan tahun," ujarnya.

Kontributor : Bob Bimantara Leander

Load More