Scroll untuk membaca artikel
Abdul Aziz Mahrizal Ramadan
Selasa, 18 Januari 2022 | 18:42 WIB
HF tersangka Penendang sesajen di Gunung Semeru saat diamankan di Polda Jatim, Surabaya. [SuaraJatim/Dimas Angga]

SuaraMalang.id - Pakar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof Bagong Suyanto berpendapat kasus tendang sesajen di kawasan Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang tidak perlu dilanjutkan ke ranah hukum.

Ia menilai, kasus penendang sesajen di Semeru bisa diselesaikan dengan kekeluargaan.

"Menurut saya memang tidak perlu memperpanjang masalah ini sampai ke ranah hukum. Kita bisa menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan dan yang terpenting ketika pelaku sudah meminta maaf," ujarnya seperti diberitakan Antara.

Ia melanjutkan, pelaku berinisial HF itu diduga tidak mengetahui adat istiadat masyarakat setempat, lantaran pria yang kini telah diamankan Polda Jatim itu tidak berasal dari Lumajang.

Baca Juga: Banyak Tafsir Soal Sesajen, Dosen Filsafat UGM: Perlu Lebih Sering Berdialog Antarkelompok Masyarakat

Kendati demikian, Ia tetap tidak menyetujui tindakan HF yang membuang dan menendang sesajen. Terlebih, lanjut Prof Bagong, Indonesia adalah bangsa multikulturalisme.

"HF kan orang luar daerah yang datang ke komunitas lokal (masyarakat Lumajang). Maka dia harus berempati dan belajar memahami perbedaan," kata dosen Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair.

Dekan FISIP Unair ini juga menuturkan kasus tendang sesajen di Gunung Semeru bisa menjadi pelajaran bersama agar mau mengenal dan memahami ritual dari agama serta kepercayaan lain.

Prof Bagong mengatakan bahwa masyarakat boleh saja mempercayai dan mengimani suatu keyakinan, akan tetapi tidak perlu menyalahkan atau merendahkan yang lainnya.

“Cukup dirasakan sendiri tanpa menyinggung keyakinan lain,” tutur dia.

Baca Juga: Tak Mau Kasus Penendang Sesajen Berakhir Damai, Ruhut Sitompul: Bayangkan Kalau Kita Orang Hindu

Pihaknya berharap tidak terulang kejadian serupa serta saling menghormati dan kesediaan untuk menerima bahwa perbedaan itu ada.

“Kita harus berempati dan bertoleransi dan kuncinya adalah memahami dan menerima segala bentuk perbedaan," ucap dosen yang dinobatkan sebagai peneliti terbaik Unair versi Google Scholar tersebut. 
 

Load More