SuaraMalang.id - Bicara keris, kebanyakan orang akan mengaitkannya dengan hal mistis. Padahal bukan di situ maknanya. Keris merupakan warisan leluhur bangsa Nusantara yang hingga detik ini tetap lestari.
Keris telah membuktikan bahwa ia mampu menahan "hantaman" arus modernisasi, dalam bentuk dan narasi apapun. Selama ini, keris masih dikaitkan dengan hal mistis, supranatural, kuno, sehingga dinilai tidak layak untuk digeluti oleh generasi muda, apalagi kaum milenial.
Bahkan, keris telah masuk dalam bagian narasi negatif dalam kacamata agama. Keris dianggap sebagai benda yang membawa kita pada kemusyrikan atau tindakan menyekutukan Tuhan. Pokoknya, sangat lengkap konotasi negatif yang dilekatkan pada benda yang terbuat dari besi dan baja, kadang dengan campuran batu meteor itu.
Para pencinta keris menggelar sarasehan sebagai upaya untuk melestarikan budaya adiluhung Nusantara itu pada Sabtu (30/7).
Baca Juga:Viral Trik Gus Samsudin Terbongkar, Keris Petir yang Dipakai Ternyata Ada di E-commerce
"Sarasehan Budaya dan Gelar Tosan Aji" yang digelar oleh Paguyuban Tosan Aji Singowulung, Bondowoso, Jawa Timur, itu menghadirkan Wakil Bupati Bondowoso Irwan Bachtiar dan pecinta keris Rachmad Resmiyanto, yang juga dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sebagai pembicara.
Bagi orang Jawa masa dulu, bahkan "Jawi" (sebutan untuk Nusantara kuno), keris adalah perangkat diri yang tidak terpisahkan dalam keseharian. Keris selalu membersamai warga masyarakat di manapun berada. Keris tidak beda dengan perangkat telepon seluler atau ponsel bagi masyarakat modern saat ini.
Kalau saat ini satu orang bisa memiliki lebih dari satu ponsel, leluhur Nusantara dulu minimal memiliki tiga keris, yakni pemberian dari orang tua, pemberian dari mertua bagi yang sudah menikah, dan dari dirinya atau seseorang yang dianggap sebagai guru.
Dalam konteks inilah, keris bagi masyarakat Nusantara kuno dianggap memiliki tuah atau masyarakat mengenalnya sebagai "yoni". Rupanya ihwal inilah yang kemudian memunculkan tuduhan bahwa kalau memiliki keris, kita bisa dituduh jatuh pada syirik.
Kalau negara atau perusahaan mengabadikan doa dalam simbol tertentu (burung yang gagah atau benda-benda langit), mengapa tidak dikatakan syirik? Bukankah dalam simbol-simbol itu tersimpan harapan dan doa? Ini juga termasuk simbol-simbol warna yang di dalamnya juga tertanam energi doa.
Baca Juga:5 Kota Terbaik di Dunia untuk Menjelajah Seni dan Budaya
Tuduhan sebagai perbuatan syirik itu rupanya berangkat dari paradigma sains modern bahwa yang nyata itu hanyalah yang tampak oleh indra, khususnya penglihatan. Sementara masyarakat Nusantara memiliki paradigma bahwa yang tidak tampak oleh indra mata juga sebagai hal yang nyata.
Karena itu leluhur Nusantara menganggap bahwa semua benda itu hidup, termasuk benda-benda pusaka yang di dalamnya ada keris.
Ini mengingatkan pada kisah pohon kurma yang biasa dijadikan sandaran oleh Nabi Muhammad SAW saat berkhotbah. Ketika Rasulullah SAW memiliki mimbar, pohon kurma tidak lagi dijadikan sebagai sandaran. Suatu hari Nabi mendengar ada tangisan yang ternyata berasal dari pohon kurma itu.
Ketika ditanya oleh Nabi, si pohon kurma menjawab ia menangis karena sedih ditinggalkan oleh Rasulullah SAW. Tangisan pohon kurma berhenti ketika Nabi memeluknya dan menyampaikan bahwa kelak ia akan bersamanya kembali di surga.
Hikmah dari kejadian ini adalah bahwa pohon pun juga memiliki jiwa, sehingga bisa bersedih dan bahagia. Maka, tidak keliru kalau penyuka keris bertanya, lalu dimana syiriknya berkeris itu?
Mungkin perlu kita telisik lagi apa sebenarnya yang terkandung di dalam keyakinan bahwa keris memiliki tuah. Penjelasan ini juga menunjukkan bahwa keris menyimpan warisan nilai luhur lain dari bangsa kita, yakni kebersamaan. Di dalam sebilah keris mengandung makna kerja bersama.
- 1
- 2