Guru Besar Farmasi UGK, Ganja Medis Bisa Jadi Alternatif Obat Tapi Bukan Pilihan Utama

Wacana pemanfaatan Ganja digunakan sebagai obat-obatan kembali mencuat akhir-akhir ini. Sebab di Indonesia, Ganja masih dikategorikan masuk dalam kategori narkotika.

Muhammad Taufiq
Jum'at, 01 Juli 2022 | 18:56 WIB
Guru Besar Farmasi UGK, Ganja Medis Bisa Jadi Alternatif Obat Tapi Bukan Pilihan Utama
Ilustrasi tanaman ganja sebagai obat medis [Foto: ANTARA]

SuaraMalang.id - Wacana pemanfaatan Ganja digunakan sebagai obat-obatan kembali mencuat akhir-akhir ini. Sebab di Indonesia, Ganja masih dikategorikan masuk dalam kategori narkotika.

Terbaru, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada serta Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Zullies Ikawati, berpendapat kalau ganja medis bisa menjadi alternatif obat apabila pengobatan sebelumnya tidak memberikan respons baik, sehingga penggunaan ganja medis belum menjadi pilihan utama.

"Urgensi ganja medis pada dunia medis sebenarnya tidak besar, lebih kepada memberikan alternatif obat, terutama jika obat-obat yang sudah ada tidak memberikan efek yang diinginkan," kata Zullies kepada ANTARA, Jumat (01/07/2022).

"Tetapi, untuk menyatakan bahwa obat lain tidak efektif tentu saja ada prosedurnya, dengan melakukan pemeriksaan yang akurat dan penggunaan obat yang adekuat. Jika benar-benar tidak ada yang mempan, baru ganja medis bisa digunakan, itu pun dengan catatan harus berupa obat yang sudah teruji klinis, sehingga dosis dan cara penggunaannya jelas," ujarnya.

Baca Juga:Angkat Suara Soal Ganja Medis, Pakar Farmakologi: Mestinya yang Dilegalisasi Bukan Tanamannya

Ia mengatakan, tentu saja masih ada obat lain yang dapat digunakan, tidak hanya ganja medis. Zullies menegaskan, posisi ganja medis ini sebenarnya justru merupakan alternatif dari obat-obat lain, jika memang tidak memberikan respon yang baik.

"Yang perlu diluruskan tentang ganja medis ini juga adalah bukan keseluruhan tanaman ganjanya, tetapi komponen aktif tertentu saja yang memiliki aktivitas farmakologi/terapi," ujar Zullies.

Sebagai informasi, ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari berbagai senyawa lainnya. Yang utama adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.

Lebih lanjut, senyawa lainnya adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif. CBD memiliki efek salah satunya adalah anti kejang, yang merupakan salah satu efek dari pengobatan untuk cerebral palsy yang tengah ramai diperbincangkan belakangan ini.

Saat disinggung dari sisi regulasi, Zullies berpendapat hal tersebut bisa mengacu pada senyawa morfin, misalnya, yang juga berasal dari tanaman candu/opiat.

Baca Juga:Studi Terbaru: Remaja Jauh Lebih Berisiko Kecanduan Ganja

"Morfin adalah obat yang legal, dapat diresepkan untuk indikasi penyakit tertentu yang memang tidak bisa diatasi dengan obat lain, seperti nyeri kanker. Tentu dengan pengawasan dan distribusi yang ketat. Tetapi tanamannya kan tetap ilegal dan masuk ke dalam narkotika golongan 1, karena berpotensi besar untuk disalahgunakan," kata Zullies.

Jadi, lanjut dia, sama dengan ganja, hal yang sama juga bisa diperlakukan demikian.

"Untuk itu, perlu diatur kebijakan pemanfaatan obat yang berasal dari ganja, terutama jika sudah mengikuti kaidah riset dan penemuan obat, sampai obat didaftarkan di BPOM. Sementara, tanaman ganjanya tetap tidak bisa legal, karena berpotensi disalahgunakan," jelas Zullies.

Menurut dia, ganja medis bukan pemanfaatan ganja untuk alasan terapi, tetapi obat yang berasal dari komponen aktif ganja.

"Ini hal yang berbeda, karena ketika sudah dalam bentuk murni, maka bisa ditetapkan dosisnya, dan bisa dipisahkan dari senyawa yang bersifat psikoaktif (yang menyebabkan ketergantungan). Contoh ganja medis adalah cannabidiol. Obat ini sudah dikembangkan dan bahkan sudah disetujui FDA sebagai obat anti kejang," papar Zullies.

Ia menambahkan, selama pengembangan dan pemanfaatan ganja medis ini masih dalam koridor saintifik, didukung bukti klinis, dan sudah mempertimbangkan manfaat dan risiko (risk and benefit), maka alternatif ini baru bisa bermanfaat. ANTARA

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini