SuaraMalang.id - Diskriminasi rasial atau pembedaan perlakuan terhadap kelompok masyarakat tertentu masih terjadi di Malang, Jawa Timur. Perlakuan itu acap kali menimpa mahasiswa asal Papua.
Hal itu diungkap Bertha Halu (23) mahasiswi Papua yang mengikuti aksi damai peringatan Hari Perempuan Internasional 2022 di Jalan Veteran, Kota Malang, Selasa (8/3/2022).
Bertha menceritakan, awal ke Kota Malang tahun 2017 lalu dia kesulitan mencari indekos. Bahkan tak jarang mendapat penolakan.
"Yang pertama saya terima di sini (Malang) ini soal diskriminasi itu tentang penolakan kos-kosan. Saya ke Kota Malang terus nyari kos-kosan kemana-mana ditolak," katanya di sela-sela aksi.
Bertha menjelaskan, penolakan itu dikarenakan dia adalah seorang perempuan dari Papua. Sebab, saat menghubungi melalui sambungan telepon, beberapa pemilik indekos mengaku ada kamar yang kosong.
"Tapi pas saya ketemu langsung dengan pemilik kos. Dia (pemilik kos) bilang tiba-tiba kamarnya sudah penuh. Mungkin soalnya pemilik kos lihat saya dari Papua," imbuhnya.
Dia pun waktu tahun 2017 itu tidak menyerah untuk mencari indekos. Sebab, dia tidak punya keluarga atau sanak saudara untuk bermukim di Malang.
"Akhirnya saya nyari tetap kos-kosan. Untungnya dapat dan enggak jauh juga dari kampus saya. Dan di kos-an itu juga gak hanya teman-teman Papua saja ada dari Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Untungnya diterima di sana," kata dia.
Setelah berhasil mendapat indekos, tindakan diskriminadi yang diterima Bertha belum berakhir. Di ruang kelas kampusnya, dia juga mengalami diskriminasi terutama karena ras dan gendernya.
Sejumlah teman-teman di teman kelasnya kerapkali memberikan kesan merendahkan dirinya. Hal itu tercermin saat dia berdiskusi atau mengemukakan pendapat di kelas.
"Di kelas mungkin ada tindakan rasis yang kental. Ketika saya dari Papua menjawab pertanyaan di kelas, atau lagi berdiskudi kadang teman-teman lain ketawa kayak merendahkan saya," ujarnya.
Bertha sebenarnya tidak nyaman akan perlakuan itu sejak semester satu. Namun dia tetap menjalani perkuliahan hingga tiga tahun kemudian karena dia berpikir di kampus untuk mencari ilmu.
"Jadi saya kalau memikirkan itu ya akan terganggu. Saya tetap memberikan komentar di kelas. Saya tetap berdiskusi di kelas meskipun ada tindakan yang kadang tidak mengenakkan," tutur dia.
Dia pun berharap dari pemerintah khususnya stakeholder di dunia pendidikan untuk memberikan kebijakan atas kesetaraan gender dan ras.
"Saya harap dengan kejadian saya ini pemerintah mampu mengimplementasi pengarusutamaan gender di berbagai sector serta mewujudkan tempat kerja, institusi pendidikan dan linkungan yang aman, maju, setara, serta bebas dari diskriminasi dan stigma yang ada," ujarnya.
Dia pun yakin perlakuan diskriminasi itu tidak hanya terjadi pada dirinya saja.
"Masih banyak perempuan lain yang melakukan perlakuan sama," tutupnya.
Kontributor : Bob Bimantara Leander